Risalah Kesembilan Belas – Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kesembilan Belas🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
170. Kapan batasan akhir bagi sopir angkutan (yang melakukan perjalanan safar di kebanyakan keadaannya) untuk mengqodho puasa Ramadan?

Jawab :

🌻Wajib baginya mengqodho puasa sebelum datang Ramadan berikutnya, apabila dia memiliki kecukupan dari rezeki dan harta, maka wajib atasnya untuk berhenti sementara dari bekerja untuk mengganti hari-hari puasa yang ditinggalkannya, dalilnya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku berhutang puasa Ramadan dan aku tidak bisa mengqodhonya kecuali pada bulan Sya’ban.”

➡ Hadits di atas menunjukkan wajibnya menqodho sebelum datang Ramadan berikutnya.”

📌(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy)

Soal:
171. Barang siapa yang berniat bepergian jauh (safar), apakah boleh baginya berbuka sedangkan dia masih di rumahnya ?

Jawab:

🍁”Sebagian Ulama rahimahumullah berfatwa tentang bolehnya hal tersebut; sebagaimana hadits dalam Sunan At-Tirmidziy rahimahullah,

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْب القرظيٍ أَنَّهُ قَالَ أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ .

Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhiy berkata; “Aku menemui Anas bin Malik pada bulan Ramadan, ketika itu hendak melakukan perjalanan, dia telah mempersiapkan kendaraannya. Dia mengenakan pakaian khusus kemudian meminta dihidangkan makanan lalu beliau memakannya.” Aku bertanya: “Apakah ini sunnah?” dia menjawab: “Sunnah.” kemudian dia menaiki kendaraannya.

📚HR. At-Tirmidziy.

📌Dan telah datang hadits semisalnya dari hadits Abu Bashroh Al-Ghifariy.

🍀Berkata Imam Asy-Syaukaniy rahimahullah:

“Dua hadits ini menunjukkan atas bolehnya bagi musafir berbuka sebelum keluar dari tempat yang dia ingin memulai safar darinya.
Dan yang benar bahwa perkataan sahabat:

(( من السنة ))

Termasuk sunnah
Yaitu menjadi sunnah Rasulullah ‎ﷺ. Dua sahabat ini menyatakan bahwa berbuka bagi musafir sebelum melewati rumah-rumah daerahnya adalah termasuk sunnah.

🌺Syaikh kami Al-Wadi’y rahimahullah:

“Perbedaan antara puasa dan salat bahwa seorang yang puasa boleh baginya berbuka dari rumahnya, jika dia telah bersiap-siap bepergian, berbeda dengan salat, tidak boleh baginya mengqoshor sampai dia keluar daerahnya. Sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فِي مَسْجِدِهِ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَّصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْن .

Dari Anas bin Malik Al Anshari berkata; “Saat haji Wada’ Rasulullah ﷺ salat Dhuhur bersama kami di masjidnya di Madinah empat rakaat, kemudian salat Ashar lagi bersama kami di Dzil Hulaifah dua rakaat.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🌾Aku (penulis) katakan:

“Bersamaan hal itu yang lebih berhati-hati atas ibadah yang agung ini, dia tidak berbuka sampai meninggalkan rumah-rumah daerahnya, ini sebagai jalan keluar dari menyelisihi Jumhur (Kebanyakan) Ulama .Wallahua’lam.”

Soal:
172. Hukum orang yang mengadakan perjalanan (safar) di bulan Ramadan agar bisa berbuka ?

Jawab:

🍂”Puasa adalah rukun dari rukun-rukun Islam seperti yang telah diketahui. Dan sesuatu yang wajib dalam syariat tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan tipu daya (mencari-cari alasan) agar gugur kewajiban darinya. Barang siapa yang melakukan perjalanan (safar) karena ingin berbuka, maka safar baginya adalah hukumnya haram. Begitu juga, berbuka haram baginya, maka wajib baginya bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan agar dia kembali dari safarnya dan berpuasa, apabila dia tidak kembali wajib baginya berpuasa walaupun dia dalam keadaan perjalanan safar.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🔥Tidak boleh melakukan perjalanan safar karena ingin berbuka, dalilnya adalah sabda Rasulullah ‎ﷺ:

(( وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ )).

“Janganlah kamu menggabungkan ternak yang terpisah dan jangan pula memisahkan yang sudah berkumpul, karena ingin menghindari atau meminimalisir pengeluaran sedekah (zakat) “.

🔥Jadi, mencari-cari alasan agar gugur kewajiban adalah haram tidak boleh (seseorang itu melakukannya).”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
173. Apa batasan sakit yang membolehkan berbuka?

Jawab:

🌷”Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit parah yang bertambah karena berpuasa atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhannya.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

✏Kesimpulan dalam hal itu:

➡ Bahwasanya orang yang sakit, jika tidak memberatkan atasnya puasa, maka berbuka haram baginya.

➡ Apabila memberatkannya tanpa ada rasa takut membahayakannya, maka puasanya makruh.

➡ Apabila memberatkannya bersamaan rasa takut membahayakannya, maka yang sahih puasa haram baginya.

➡ Adapun sakit bersamaan itu ditakutkan akan mengantarkannya kepada kematian, maka bertambah keharamannya.

➡ Terbangun atas itu kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan sebagian orang awam dari melarangnya untuk berbuka bersamaan adanya keberatan dalam sakitnya, ini adalah suatu kesalahan.

➡ Ini adalah berpaling dari keringanan yang diberikan oleh Allah Tabaaroka wa Ta’ala.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
174. Apakah wajib berpuasa bagi penderita diabetes (penyakit gula)?

Jawab:

🌿”Apabila dia mampu berpuasa tanpa memberatkannya, maka wajib baginya puasa.

➡ Adapun apabila di sana terdapat kesulitan sekali, maka boleh baginya berbuka.

➡ Apabila masih diharapkan kesembuhannya, maka ini adalah hutang puasa, apabila sudah tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka dia memberi makan setiap hari satu orang miskin.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
175. Seorang dokter menasihatinya agar tidak berpuasa karena dia sakit tukak lambung, apakah dia mengikuti perkataannya?

Jawab:

🌻”Apabila dokter yang melarangnya berpuasa adalah dokter yang terpercaya, amanah jujur dan mumpuni di bidangnya, maka dia wajib mengikuti nasehat dokter, yaitu berbuka di bulan Ramadan sampai dia mampu berpuasa. Allah Ta’ala berfirman:

{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ ۗ وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ }.

“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
176. Dokter menyuruhnya untuk berbuka puasa karena dia dalam pengobatan penyakit liver (hati), apakah boleh mengambil perkataan dokter ?

Jawab:

🍃”Apabila dokter itu dapat dipercaya, amanah dan mumpuni di bidangnya, maka diambil sarannya yaitu untuk meninggalkan puasa; karena dia mengetahui keadaan penderita dan batas kemampuan pasien untuk berpuasa atau berbuka. Wajib baginya mengqodho puasa hari yang dia berbuka setelah adanya kemampuan untuk berpuasa.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
177. Siapakah dokter yang diambil perkataannya dalam masalah batasan sakit bagi orang yang berpuasa?

Jawab:

🌻Berkata Sebagian Ulama:

“Kapan seorang dokter itu terpercaya, diambil perkataannya walaupun bukan dokter Muslim. Berdalilkan bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ ketika hijrah, menyewa seorang kafir, yang bernama Abdullah bin Uraiqith untuk menunjukkan jalan dari Makkah ke Madinah, bersamaan itu keadaannya berbahaya sekali untuk bergantung kepada orang kafir dalam perkara tersebut; dikarenakan orang kafir Quraisy mencari Rasulullah ‎ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka para Ulama tersebut berpendapat bahwa intinya adalah terpercaya, bahwasanya diterima perkataan dokter kafir jika dia terpercaya,…

➡ Apabila perkataan dokter non Muslim termasuk orang yang dapat dipercaya perkataannya karena keamanahannya dan kepintarannya, ‘Sesungguhnya salat dalam keadaan berdiri akan membahayakanmu dan harus bagimu sholat berbaring’, maka pasien boleh mengikuti perkataannya, dan termasuk hal itu jika dokter terpercaya itu berkata: ‘Sesungguhnya puasa akan membahayakanmu atau memperlambat kesembuhanmu’, maka pasien tersebut boleh berbuka mengikuti perkataannya.”

✒(Syaikh Al ‘Utsaimin).

Soal:
178. Apabila pasien sembuh atau seorang musafir sampai di kampungnya pada siang Ramadan, yang sebelumnya mereka telah berbuka, apakah mengharuskan mereka menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu?

Jawab:

🍁”Tidak wajib bagi mereka menahannya di sisa hari tersebut menurut pendapat yang benar, karena tidak adanya dalil hal itu dan puasa itu ibadah yang meliputi waktunya sehari penuh, tidak cukup puasa sebagian hari saja, tetapi disunnahkan bagi mereka menahannya karena kesucian bulan Ramadan dan keluar dari khilaf para Ulama.”

Soal:
179. Apabila dia merasakan lapar dan haus yang sangat dan mengkhawatirkan akan menghantarkan dirinya kepada kebinasaan, apakah boleh baginya berbuka?

Jawab:

🍀”Disyariatkan dalam keadaan ini dia berbuka, walaupun dia seorang yang bermukim, sehat sekadar menghilangkan kesulitannya, kemudian dia menahannya di sisa hari tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman:

ِ {وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ  }.

“Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 195)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

{ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْۤا أَنْـفُسَكُمْ }.

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 29)

📌Dan wajib baginya qodho puasa karena dia dihukumi sebagai orang yang sakit.”