Risalah Kedua Puluh Sembilan – Bab Penjelasan Seputar Iktikaf

🌹Risalah Kedua Puluh Sembilan🌹

🌷Bab Penjelasan Seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Apa yang sepantasnya bagi seorang yang beriktikaf? Jawab : 🍁”Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap orang yang beriktikaf, maka hendaklah tidak saling mencela, berkata-kata kotor, menyuruh keluarganya dengan suatu kebutuhan (yang menyibukkan diri dengan urusan dunia), dan jangan duduk di sisi mereka (supaya lebih fokus dalam beribadah).” 🌿Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Wajib bagi orang yang beriktikaf menjaga lisannya, tidak menaunginya melainkan atap masjid, dan tidak pantas baginya jika beriktikaf menjahit atau bekerja.”

🍃Syaikhul Islam rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya sepantasnya bagi orang yang beriktikaf sibuk dengan ibadah saja antara dia dan Allah Ta’ala. Misalnya: membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, istighfar, salat, tafakkur dan semisalnya.”

🌳Al-Imam Al-Albany rahimahullah berkata:

“Apa yang dilakukan orang-orang bodoh menjadikan orang-orang yang iktikaf tempat berkumpul dan datangnya para pengunjung, menjadikan tempat menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, maka ini suatu warna (yang keliru), dan Iktikaf sesuai bimbingan Nabi adalah warna yang lain. Dan Allah lah Pemberi taufik.”

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf? Jawab:

🌻”Ibnu Abdil Bar dan Imam An-Nawawi rahimahumullah menukilkan ijmak (kesepakatan Ulama) bahwasanya Iktikaf adalah sunnah bukanlah suatu kewajiban.

➡ Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ‘Terus-menerusnya Rasulullah ‎ﷺ atas Iktikaf menunjukkan bahwa iktikaf sunnah dari sunnah-sunnah muakkad (yang ditekankan),
➡ Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Beliau berkata: ‘Sungguh mengherankan kaum Muslimin telah meninggalkan Iktikaf sedangkan Nabi ‎ﷺ tidak pernah meninggalkannya sejak tinggal di Madinah sampai Allah Ta’ala mewafatkan Beliau ‎ﷺ.”

✒(Fathul Baari).

Soal:

  1. Kapan iktikaf itu menjadi wajib? Jawab:

🌿Iktikaf itu menjadi wajib jika seorang itu mewajibkan bagi dirinya dengan bernazar, sebagaimana hadits Umar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فقَالَ لي رسول الله ‎ﷺ:(( أَوْفِ بِنَذْرِكَ )).

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu Beliau mengatakan; ‘Aku bernazar semasa jahiliyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Penuhi nazarmu!.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍀Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Ulama sepakat bahwa Iktikaf sunnah tidak wajib ‘ain bagi manusia, kecuali apabila seseorang mewajibkannya bagi dirinya dengan bernazar akan beriktikaf.”

Soal:

  1. Apa saja rukun Iktikaf itu? Jawab :

🌾”Iktikaf mempunyai dua rukun:

1). Berdiam diri di masjid; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

🍂Berkata Imam Al-Qurthubiy:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak dilakukan kecuali di masjid.”

2). Berniat iktikaf; sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ :

(( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ )).

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.”

🌷Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak sah melainkan dengan berniat.”

Soal:

  1. Apakah syarat-syarat Iktikaf ? Jawab:

🌳”Iktikaf mempunyai syarat-syarat yaitu :

1). Islam; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ إلَّاۤ أَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهٖ }

“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 54)

2). Berakal
3). Tamyiz (bisa membedakan).

Dalil syarat 2 dan 3 adalah:

عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ )).

Dari Abu Adh-Dhuha dari Ali radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal.”

4). Disyaratkan juga:

➡ Sahnya Iktikaf menurut kebanyakan Ulama adalah suci dari hadats besar seperti: haid, nifas dan junub,

➡ Adapun hadats kecil, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah menukilkan kesepakatan kaum muslimin: ‘Tidak disyaratkannya.’

5). Bagi hamba sahaya adalah ijin dari Tuannya, ijin suami bagi seorang istri;
sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta ijin dari Nabi ‎ﷺ untuk beriktikaf dan Beliau ‎ﷺ mengijinkannya.

➡ Dan dalam masalah seorang budak,
Imam Ibnu Hubairah berkata rahimahullah: ‘Ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidak boleh beriktikaf melainkan dengan ijin tuannya’.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan ijin kedua orang tua dalam Iktikaf? Jawab:

🌱”Seorang pemuda belia tidak beriktikaf melainkan dengan ijin keluarganya, adapun pemuda dewasa, di sana ada kaidah Ulama : ‘Bahwasanya sesuatu yang bermanfaat bagi seorang anak dan tidak ada kemudaratan atas orang tuanya, maka tidak mengapa dia tidak meminta ijin.’

➡ Akan tetapi jika kedua orang tua atau salah satu darinya mendapatkan madarat disebabkan terputus hubungannya dengan anak karena berada di masjid untuk Iktikaf, maka harus meminta ijin,
➡ Akan tetapi seandainya jika orang tua tidak membutuhkannya untuk berada di sisi mereka karena adanya beberapa anak yang lain disisi mereka, maka tidak ada alasan bagi orang tua (untuk menghalanginya), di sini kita melaksanakan apa yang tetap (tsabit) dari kaum Salaf dan atsar mereka.

➡ Datang seorang laki-laki kepada Imam Ahmad rahimahullah dan berkata kepada Beliau : ‘Aku ingin menuntut ilmu dan ibuku melarangku?’, Kemudian Beliau menjawab : ‘Tuntutlah ilmu dan melobilah dengan baik’ .”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah sunnah-sunnah Iktikaf? Jawab:

🍀”Sunnah-sunnah iktikaf adalah menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, salat dan semisalnya, tidak menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang tidak bermanfaat di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang beriktikaf, engkau dapati dia berdiam diri di masjid kemudian orang mendatanginya setiap saat, berbincang-bincang dengannya, memutus iktikafnya tanpa faedah.

➡ Adapun terkadang berbicara dengan sebagian orang atau keluarga, maka ini tidak mengapa, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari perbuatan Rasulullah ‎ﷺ ketika Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mendatanginya dan mengajak bicara sementara waktu kemudian kembali ke rumahnya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukumnya wajib menyempurnakan Iktikaf karena telah memulainya? Dan barang siapa yang memutus Iktikafnya secara sengaja, apakah wajib atasnya mengqodho (menggantinya)? Jawab:

🌰”Tidak wajib menyempurnakan Iktikaf kecuali jika dia bernazar untuk beriktikaf, dan tidak berdosa orang yang menyengaja memutusnya; dikarenakan tidak wajib memulai Iktikaf, maka tidak wajib pula menyempurnakan Iktikaf yang dia telah memulainya dan selanjutnya tidak wajib mengqodhonya.”

➡ Adapun Rasulullah ‎ﷺ mengqodho Iktikaf yang Beliau telah memulainya kemudian memutusnya, ini adalah hukumnya sunnah saja; dikarenakan Beliau ‎ﷺ jika melakukan sesuatu amalan, Beliau tetapkan.

➡ Sedangkan istri-istri Beliau ‎ﷺ meninggalkan Iktikaf juga setelah memulainya, tidak dinukilkan dari para istri Beliau ‎ﷺ bahwasanya mereka beriktikaf bersama Beliau ‎ﷺ pada bulan Syawal mengqodho Iktikaf.

➡ Adapun firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبْطِلُوْۤا أَعْمَالَـكُمْ }.

“Janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad 47:

Maka larangan tergantung yang dilarang darinya, maka apabila amalan itu wajib, maka tidak boleh membatalkannya tanpa uzur, apabila amalan itu sunnah, maka makruh membatalkannya tanpa uzur.”

Soal:

  1. Apa disyariatkan mengqodho bagi orang yang sibuk untuk menyempurnakannya? Jawab:

🌴”Ya, disyariatkan; sebagaimana telah tetap dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa Nabi ‎ﷺ ketika meninggalkan Iktikaf pada sepuluh terakhir Ramadan, Beliau ‎ﷺ beriktikaf 10 hari dibulan Syawwal sebagai gantinya.”

🍂Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Pada Iktikafnya ‎ﷺ di bulan Syawal adalah dalil bahwasanya amalan sunnah yang biasa dilakukan jika luput, maka disunnahkan diqodho.”

Soal:

  1. Kapan waktu Iktikaf? Jawab:

🌷”Iktikaf boleh kapan saja dan yang utama pada 10 terakhir Ramadan karena mencontoh Nabi ‎ﷺ. Sungguh telah tetap dari Beliau ‎ﷺ bahwa Beliau ‎ﷺ beriktikaf pada bulan Syawal di beberapa tahun.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).