Risalah Keempat Puluh Lima – Bab Seputar Berbagai Pembahasan Terkait Puasa dan Salat Tarawih

🌹Risalah Keempat Puluh Lima🌹

🌷Bab Seputar Berbagai Pembahasan Terkait Puasa dan Salat Tarawih🌷

Soal:

  1. Apakah wanita dilarang dari mendatangkan anak-anaknya ke masjid? Jawab:

🌴”Para wanita tidak dilarang dari mendatangkan anak-anaknya ke masjid di bulan Ramadan; sungguh As-Sunnah telah menunjukkan atas kedatangan para wanita dan bersama mereka anak-anaknya di zaman Nabi ‎ﷺ ; sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

عنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:” إِنِّي لَأَدْخُلُ فِي الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ “.

Dari Anas bin Malik dia berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saat aku shalat dan ingin memanjangkan bacaanku, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak sehingga aku pun memendekkan salatku, sebab aku tahu ibunya akan susah dengan adanya tangisan tersebut.”

➡ Akan tetapi wajib bagi mereka untuk bersemangat untuk menjaga masjid dari najis dengan menjaga anak-anak ketika tidur dan selainnya (dari ngompol atau BAB).”

✒(Syaikh Muhammad bin Ibrahim).

  1. Apakah hukum menggoyang-goyangkan atau memiringkan badan ketika membaca Al-Qur’an? Jawab:

🌸”Menggoyang-goyangkan badan ketika membaca Al-Qur’an termasuk kebiasaan yang wajib ditinggalkan; dikarenakan ia meniadakan adab bersama kitab Allah Azza wa Jalla; dikarenakan yang dituntut ketika membaca Al-Qur’an adalah mendengarkan dengan seksama (menadaburi), diam dan meninggalkan banyak gerakan dan perbuatan sia-sia; supaya bisa bagi pembacanya mencurahkan perhatiannya dan bagi pendengar untuk menadaburi Al-Qur’an Al-Karim dan khusyuk mendengarkan ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Dan sungguh Ulama telah menyebutkan bahwa yang demikian itu termasuk kebiasaan orang-orang yahudi ketika membaca kitab mereka, sedangkan kita dilarang untuk menyerupai mereka.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah keutamaan Umroh di bulan Ramadan? Jawab :

🍁”Keutamaannya sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( فَعُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي )).

“Umroh di bulan Ramadan, pahalanya sama dengan naik haji bersamaku.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🌻Berkata Ibnul Arabiy rahimahullah:

“Hadits Umroh ini sahih, itu adalah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Sungguh Umroh itu mencapai fadhilah (keutamaan) Haji dengan digabungkan Ramadan kepadanya (ditunaikannya di bulan Ramadan).”

Soal:

  1. Apakah tertunaikan Haji Islam dengan menunaikan Umroh di bulan Ramadan? Jawab :

🍀”Kedudukan Umroh di bulan Ramadan sama dengan naik haji dari sisi pahalanya. Bukan menyamainya dalam segala sesuatu, karena kalau dia wajib Haji kemudian dia Umroh di bulan Ramadan tidak menggugurkan dari kewajiban haji Islam.”

✒(Al-Imam An-Nawawi).

Soal:

  1. Apabila masjid penuh dengan jamaah, Apakah boleh bagi mereka salat di kanan imam? Jawab:

🌺”Jika jamaah penuh di masjid maka tidak mengapa mereka salat di kanan dan kiri imam, atau kanannya saja. Dan tidak dianggap jamaah yang di sampingnya adalah shof pertama. Karena shof pertama adalah shof yang langsung di belakang imam.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Bagaimana seorang yang puasa banyak tidur ? Jawab:

🌾”Seorang yang berpuasa terus-menerus tidur pada kebanyakan waktu siangnya adalah bentuk kekurangan darinya. Terlebih-lebih lagi di bulan Ramadan adalah waktu yang mulia, sepantasnya seorang muslim mengambil faedah dengan apa yang mendatangkan manfaat baginya, dari memperbanyak membaca Al-Qur’an, mencari rezeki dan ilmu Agama.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apa nasihatmu bagi orang yang keinginan besarnya di bulan Ramadan adalah makanan dan memperbanyak tidur? Jawab :

🍂”Aku memandang bahwa ini pada hakikatnya terkandung di dalamnya menyia-nyiakan waktu dan uang. Apabila manusia tidaklah ada bagi mereka keinginan kecuali makanan yang beragam, tidur di siang hari dan begadang di malam hari dalam perkara yang tidak bermanfaat bagi mereka, maka ini tidak diragukan adalah menyia-nyiakan kesempatan besar yang mungkin tak terulang lagi kepadanya selama hidupnya. Maka seorang yang hebat (punya tekad kuat) adalah dia yang berjalan di bulan Ramadan atas apa yang sepantasnya dari tidur di awal malam, salat Tarawih, salat di akhir malam jika mudah baginya, begitupula tidak berlebihan dalam makan dan minum, dan sepantasnya bagi yang memiliki kemampuan bersemangat memberi makan orang yang berpuasa di masjid atau di tempat lain; dikarenakan orang yang memberikan makan seorang yang berpuasa baginya pahala semisal pahala orang tersebut. Apabila seorang memberikan makan (buka) saudara-saudaranya, maka sungguh baginya pahala semisal pahala mereka. Maka sepantasnya orang yang Allah Ta’ala beri kekayaan mengambil kesempatan sampai dia mencapai pahala yang banyak.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah orang yang berlebih-lebihan dalam menyediakan makanan untuk buka puasa akan mempersedikit pahala puasanya? Jawab :

🌷”Tidak mempersedikit pahala puasanya. Perbuatan haram setelah selesainya puasa tidak mempersedikit pahalanya akan tetapi masuk ke dalam firman Allah Ta’ala:

{ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ إِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ }.

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 31)

Maka berlebih-lebihan itu sendiri adalah haram. Dan berhemat adalah separuh penghasilan, apabila mereka mempunyai kelebihan maka hendaklah bersedekah dengannya. Maka itu adalah yang utama.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Bagaimana hukumnya uang program buka puasa yang tersisa? Jawab:

🌿”Uang buka puasa yang tersisa di bulan Ramadan tahun yang telah lewat untuk tahun yang akan datang. Karena donatur uang ini mengkhususkan untuk orang yang berpuasa maka tidak boleh mengalokasikannya untuk yang lain. Karena tempat penyalurannya tidak terputus, tidak pula menganggur, maka ditunggu sampai datang bulan Ramadan berikutnya, kemudian dibelanjakan kepada apa yang telah dikhususkan dengannya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah seorang yang berpuasa mengeraskan perkataannya: “Aku sedang berpuasa” kepada orang yang mencela atau mengajaknya berkelahi?
    Jawab :

🍃” Boleh mengeraskan perkataannya baik itu puasa wajib atau sunnah, karena Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ )).

“Jika ada orang lain yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah dia mengatakan ‘Aku orang yang sedang puasa’.”

📚HR. Bukhari dan Muslim.

➡ Dan asal perkataan adalah jelas (tampak) bukan tersembunyi. Dan karena yang demikian itu termasuk mengingatkan seorang yang melampaui batas, dan agar diketahui bahwasanya orang yang puasa tidak meninggalkan untuk membela dirinya karena takut, hanya saja dia meninggalkannya karena sedang berpuasa.

➡ Apabila puasa sunnah maka dia berupaya menjaga jiwanya untuk ikhlas dalam perkataannya karena dikhawatirkan dia terjatuh dalam riya`.”