Risalah Kedua Puluh Delapan – Bab seputar penjelasan tentang puasa Yang dilarang dan dimakruhkan

🌹Risalah Kedua Puluh Delapan🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang puasa Yang dilarang dan dimakruhkan🌹

Soal:

  1. Kapan dimakruhkan menyendirikan hari Jumat dengan puasa dan malamnya dengan salat? Jawab:

🍁”Apabila dia bermaksud hari Jum’atnya (secara tersendiri), adapun apabila dia berpuasa, maka berpuasalah, sekalipun hari Jum’at yaitu seandainya dia berpuasa, maka dia sehari berpuasa dan sehari berbuka (puasa Dawud misalnya), dan bila bertepatan hari Jum’at dia berpuasa maka ini tidak mengapa,
➡ begitu juga seandainya bertepatan dengan puasanya hari Asyura (10 Al-Muharram),
➡ atau bertepatan dengan hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), maka tidak mengapa,
🔥 dan yang terlarang darinya adalah memaksudkannya (secara tersendiri), dan dia berkata: ‘Aku berpuasa ; karena ini adalah hari Jum’at, begitu juga malam Jumat, janganlah engkau khususkan untuk salat,
➡ akan tetapi seandainya seseorang, pada waktu malam itu sedang semangat dan dia melakukan salat, bukan karena salatnya itu pada malam Jum’at, akan tetapi karena dia lagi semangat, maka dikatakan padanya: ‘Apakah engkau salat karena pada malam Jum’at?’, apabila dia berkata: ‘Aku salat karena aku lagi semangat, maka semisal ini adalah tidak dimakruhkan,
➡maka dibedakan antara yang bermaksud menyendirikannya/mengkhususkannya (hari Jum’at atau malamya untuk ibadah) dan antara yang melakukannya karena perkara lain.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukum menyendirikan hari Sabtu untuk puasa Sunnah? Jawab:

🌻”Datang hadits dari Ash Shamaa` bintu Busr radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا مَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا عُودَ عِنَبٍ أَوْ لِحَى شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا )).

Dari Abdullah bin Busr dari Saudarinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali kalau hal itu diwajibkan atas kalian, jika di antara kalian tidak mendapatkan kecuali tangkai anggur atau kulit tanaman maka hendaknya ia menelannya (untuk membatalkan puasa).”

📚HR. Abu Dawud dan selainnya.

Para Ulama telah berbeda pendapat tentang kesahihan hadits ini, dan yang lebih dekat adalah tidak sahih.”

➡ Dan kalau seandainya sahih, dikecualikan darinya dua keadaan yang boleh padanya berpuasa sunnah, yaitu:

  1. Apabila dia berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya (puasa Dawud), sebagaimana dalam hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhori :
    ‘Bahwa barang siapa yang berpuasa pada hari setelah Jum’at tidak mengapa, dan telah dimaklumi bahwa setelahnya hari Sabtu.’

▶ Dan sebagaimana hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: ‘Kebanyakan hari yang dahulu Rasulullah ‎ﷺ berpuasa padanya dari hari-hari adalah hari Sabtu dan Ahad, dan beliau bersabda:
“Sungguh keduanya adalah hari raya kaum Musyrik, sedangkan Aku hendak menyelisihi mereka.”

  1. Apabila bertepatan hari Sabtu dengan puasa yang biasa dia kerjakan, seperti 10 Al Muharram, ‘Arafah misalnya; sebagaimana dalam hadits: (( صُم يَوماً وَ أَفطِر يَوماً )). ” Berpuasalah satu hari dan berbukalah di hari setelahnya.”

Dan barang siapa berpuasa satu hari dan berbuka di hari setelahnya, mesti dia akan bertepatan pada hari berpuasanya hari Sabtu.”

Soal:

  1. Apabila bertepatan hari Sabtu pada hari yang disunnahkan berpuasa semisal puasa ‘Arafah, maka apakah dimakruhkan berpuasa pada hari Sabtu ? Jawab:

🍁”Boleh puasa ‘Arafah secara tersendiri, sama saja apakah bertepatan dengan hari Sabtu atau selainnya dari hari-hari dalam sepekan; dikarenakan tidak ada perbedaan di antaranya; karena puasa ‘Arafah adalah puasa tersendiri, dan hadits larangan dari berpuasa hari Sabtu adalah hadits lemah karena idhthirab (kegoncangannya) dan menyelisihinya hadits-hadits yang sahih.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah hukum mendahului bulan Ramadh4an dengan puasa sunnah sehari atau dua hari? Jawab:

🌺”Tidak boleh mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, dan seandainya dia tidak melakukan itu sebagai bentuk kehati-hatian akan Ramadan melainkan bagi seorang yang bertepatan dengan hari yang dia telah terbiasa berpuasa, sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ )).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”.

Soal:

  1. Apakah sahih hadits dalam pengkhususan puasa bulan Rajab? Jawab:

🌻”Adapun puasa Rajab secara khusus, maka hadits-haditsnya semuanya adalah hadits lemah, bahkan hadits palsu, Para Ulama tidaklah menjadikan pegangan sedikitpun darinya.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

🍂”Semua hadits dalam penyebutan tentang puasa bulan Rajab dan salat pada sebagian malamnya adalah kedustaaan dan diada-adakan.”

✒(Imam Ibnul Qayyim).

🌾”Tidak sahih hadits dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus sama sekali dari Nabi ‎ﷺ.”

Soal:

  1. Apakah hukum puasa Rajab secara keseluruhan? Jawab:

🍂”Dimakruhkan yang demikian itu; dikarenakan dalam pengkhususannya dengan puasa adalah menyerupai dengan perbuatan orang-orang musyrik, yang dahulu mereka ini mengagungkannya pada masa jahiliyah, dan telah sahih sebagian atsar dari sebagian Sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang larangan dalam pengkhususan bulan Rajab dengan puasa;

➡ Dan Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkn dengan sanad sahih dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau memukul telapak-telapak tangan manusia di bulan Rajab sampai mereka meletakkannya di piring-piring, dan beliau berkata: “Makanlan ini, karena hanya saja bulan Rajab adalah bulan yang orang-orang jahiliyah mengagungkannya.”

➡ Dan Imam Abdur Razaq telah meriwayatkn dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya beliau melarang dari puasa di bulan Rajab seluruhnya, supaya tidak dijadikan hari raya.”

➡ Dan dalam fatwa Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]:

“Pengkhususan puasa Rajab hukumnya makruh, dan apabila berpuasa sebagiannya dan berbuka sebagian yang lain, maka hilanglah kemakruhannya.”

Soal:

  1. Apakah hukum mengkhususkan suatu hari dengan puasa secara jamaah? Jawab:

🌳”Hukumnya adalah bid’ah.”

✒(Syaikh Muqbil Al Wadi’y).

🌹Bab penjelasan tentang Iktikaf🌹

Soal:

  1. Apakah pengertian Iktikaf? Jawab:

🍃” Iktikaf secara bahasa: menetapi (menekuni) sesuatu, menahan diri di atasnya, sama saja dalam kebaikan atau dalam kejelekan,
Allah Ta’ala berfirman:

{ٖ مَا هٰذِهِ التَّمَا ثِيْلُ الَّتِيْۤ أَنْتُمْ لَهَا عٰكِفُوْنَ }.

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 52).

Yaitu: “mereka tekun menyembahnya.”

➡ Adapun pengertian secara syariat:
Imam Ibnu Hazm mendefinisikan bahwa Iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla sesaat atau lebih, baik di malam hari atau siang hari.”

Soal:

  1. Apakah hakikat dari Iktikaf dan apakah tujuan terbesar darinya?

Jawab:

🌺”Makna Iktikaf dan hakikatnya adalah memutus hubungan dari makhluk untuk berhubungan dalam mengabdi kepada Al Khaliq (Allah).”

✒(Imam Ibnu Rajab).

Soal:

  1. Apakah hikmah disyariatkannya Iktikaf? Jawab:

🌷”Tujuannya dan intinya adalah mempersembahkan hati untuk Allah Ta’ala dan menyatukannya untuk-Nya, beribadah kepada-Nya, dan memutus dari kesibukan dengan makhluk, dan semata sibuk dengan-Nya, di mana dia jadikan untuk ingat kepada-Nya dan cinta kepada-Nya, menghadapkan untuk-Nya pada kesedihan hati dan angan-angan kosong dalam pikirannya, sehingga menguasai padanya penggantinya (cinta dan ingat kepada-Nya), maka kesedihan semuanya berubah menjadi kesenangan dengan beribadah kepada-Nya, dan angan-angan kosong berubah menjadi untuk mengingat-Nya, dan dia memikirkan dalam menggapai keridhaan-Nya dan apa yang mendekatkan dari-Nya, maka menjadilah kesenangannya dengan Allah sebagai ganti kesenangannya dengan makhluk, maka dia sedang menyiapkan bekal yang demikian itu, karena sungguh dia akan menjumpai hari terasa sunyi (kesedihan) di alam kubur ketika tidak ada keramahan baginya, dan tidak pula apa yang menggembirakannya selainnya (ketika seorang memiliki bekal amalan ibadah maka itu yang akan menemani dalam kuburnya), maka ini adalah maksud agung dari Iktikaf.”

✒(Imam Ibnul Qayyim).

🌿”Dan adapun maksud darinya:
‘Menyatukan hati kepada Allah Ta’ala dengan beribadah bersamaan dengan kosongnya lambung, dan menghadap pada-Nya Ta’ala, menikmati dalam mengingat-Nya, dan berpaling dari selain-Nya’.”

✒(Imam Ash-Shan’any).