Risalah Ketiga Puluh Dua – Bab penjelasan seputar Iktikaf

๐ŸŒนRisalah Ketiga Puluh Dua๐ŸŒน

๐ŸŒทBab penjelasan seputar Iktikaf ๐ŸŒท

Soal:

  1. Apakah disyariatkan bagi orang yang salat bahwa setiap dia masuk masjid walaupun dalam waktu yang singkat atau menunaikan salat fardhu meniatkan Iktikaf? Jawab:

๐Ÿ”Ulama telah menyebutkan bahwa hal ini tidak disyariatkan dan tidak dilakukan oleh generasi Salaf, bahwa seorang yang masuk masjid karena menunaikan salat Dhuhur, kemudian dia berkata: ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid’, sedangkan dia tidaklah tinggal di masjid kecuali 5 atau 10 menit saja, engkau dapati papan di sebagian masjid orang Sufi : ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid.”
Ini tidak ada dalil padanya, Syaikhul Islam rahimahullah telah memperingatkan tentang perkara ini.”

โœ’(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Barang siapa yang berjimak sedangkan dia Iktikaf, apakah batal Iktikafnya? Jawab :

๐ŸŒป”Barang siapa yang berjimak dengan istrinya dalam keadaan dia ingat, sengaja dan tahu haramnya hal tersebut, maka batal Iktikafnya menurut Ijmak (kesepakatan) Ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

โ€…{ ูˆูŽู„ูŽุง ุชูุจูŽุงุดูุฑููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ูˆุฃูŽู†ู’ู€ุชูู…ู’ ุนูฐูƒููููˆู’ู†ูŽโ€…ููู‰ ุงู„ู’ู…ูŽุณูฐุฌูุฏู }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

โžก Adapun jika dia lupa dan ini sangat jarang terjadi, maka tidak batal Iktikafnya karena hal itu, dikarenakan Allah Ta’ala tidak menghukum apa yang kita lupa, hanya saja Allah Ta’ala menghukum dengan apa yang hati-hati kita menyengajanya dan karena kealpaan adalah uzur, tidak membatalkan salat dan puasa, begitu pula dengan Iktikaf.”

Soal:

  1. Apakah bercumbu tanpa jimak bagi orang yang Iktikaf membatalkan Iktikafnya? Jawab:

๐Ÿ€”Dimakruhkan bercumbu dengan syahwat bagi orang yang beriktikaf, secara khusus bahwa Iktikaf tidak batal kecuali dengan jimak, itu adalah yang dimaksudkan dalam firman Allah Ta’ala:

โ€…{ ูˆูŽู„ูŽุง ุชูุจูŽุงุดูุฑููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ูˆุฃูŽู†ู’ู€ุชูู…ู’ ุนูฐูƒููููˆู’ู†ูŽโ€…ููู‰ ุงู„ู’ู…ูŽุณูฐุฌูุฏู }. โ€…

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

โžก Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Beliau berkata pada firman Allah Ta’ala:

โ€…{ูˆูŽู„ูŽุง ุชูุจูŽุงุดูุฑููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka”

Yaitu bercumbu, menyentuh dan bersenggama semuanya adalah nama-nama jimak, akan tetapi Allah Ta’ala menamakan apa yang Dia kehendaki dengan sesuai yang Dia kehendaki (yaitu bercumbu kadang tidak bermakna jimak).”

๐ŸŒบBerkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Bercumbu yang dilarang Allah Ta’ala darinya bagi orang yang beriktikaf adalah jimak, tidak khilaf padanya menurut yang aku ketahui.”

Soal

  1. Hukum bagi orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya ? Jawab :

๐ŸŒพ”Apabila seorang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya, maka tidak membatalkan Iktikafnya dan tidak berakibat sesuatupun baginya menurut kesepakatan Ulama; sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau dahulu menyisir rambut Nabi โ€Ž๏ทบ , sedangkan beliau haid dan Nabi โ€Ž๏ทบ beriktikaf di masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di kamarnya dan Rasulullah โ€Ž๏ทบ menjulurkan kepalanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

โžก Adapun apabila mengeluarkan seluruh badannya tanpa uzur, maka batal Iktikafnya menurut kesepakatan Ulama; dikarenakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(( ูˆูŽูƒูŽุงู†ูŽ ู„ูŽุง ูŠูŽุฏู’ุฎูู„ู ุงู„ู’ุจูŽูŠู’ุชูŽ ุฅูู„ู‘ูŽุง ู„ูุญูŽุงุฌูŽุฉู ุฅูุฐูŽุง ูƒูŽุงู†ูŽ ู…ูุนู’ุชูŽูƒููู‹ุง )).

“Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beriktikaf.”

๐Ÿ“šHR. Bukhori dan Muslim.

โžก Dan juga karena meniadakan dari rukun Iktikaf.”

โœ’(Fiqhul Iktikaf).

Soal:

  1. Apakah hukum keluarnya seorang yang beriktikaf untuk membangunkan keluarganya agar makan sahur? Jawab:

๐ŸŒพ”Tidak mengapa keluarnya dia di waktu sahur untuk membangunkan keluarganya menyiapkan makan sahur di waktu sahur dan supaya mereka siap untuk melaksanakan salat subuh jika mereka tidak mampu bangun dari tidur dengan sendirinya dan tidak didapati orang yang membangunkan mereka, akan tetapi dia tidak tinggal di rumah setelah membangunkan keluarganya dan kembali ke tempat Iktikafnya di masjid.”

โœ’(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Bolehkah bagi orang yang beriktikaf melakukan jual beli ? Jawab:

๐Ÿ‚”Apabila jual beli di dalam masjid, maka itu hukumnya haram,
โžก Apabila dia keluar ke suatu tempat di luar masjid karena keperluan dan dia dapati di jalan sesuatu yang dijual, maka tidak ada penghalang baginya dari hal tersebut.”

โœ’(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah dalil atas bolehnya mensyaratkan sesuatu dalam Iktikaf dan apa faedahnya? Jawab:

๐ŸŒท”Dalilnya adalah hadits Dhuba’ah bintu az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah โ€Ž๏ทบ berkata padanya ketika dia muhrim (dalam keadaan memakai baju ihram):

(( ุญูุฌู‘ููŠ ูˆูŽุงุดู’ุชูŽุฑูุทููŠ ูˆูŽู‚ููˆู„ููŠ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูู…ู‘ูŽ ู…ูŽุญูู„ู‘ููŠ ุญูŽูŠู’ุซู ุญูŽุจูŽุณู’ุชูŽู†ููŠ )).

“Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. Bacalah: ‘ALLAHUMMA MAHALLII HAITSU HABASTANII (Ya Allah, tempat (berhenti dari ibadah haji atau umrah)ku adalah di tempat Engkau menahanku).’

โžก Sisi pendalilan: bahwasanya Ihram mengharuskan ibadah dengan adanya permulaan, dan boleh menyelisihinya dengan syarat, maka iktikaf lebih utama. Dan karena Iktikaf tidak dikhususkan dengan kemampuan, maka apabila dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan dia bernazar melakukan apa yang dia mampu.

โžก Dan faedah dari pensyaratan sesuatu dalam Iktikaf tidak batal Iktikafnya dengan keluarnya karena syaratnya tersebut.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan keluar karena tujuan urusan dunia atau urusan akhirat bagi orang yang beriktikaf? Jawab:

๐ŸŒฟ”Boleh bagi orang yang beriktikaf mensyaratkan sesuatu yang di dalamnya bentuk ibadah seperti menjenguk orang sakit, atau menghadiri jenazah atau sesuatu yang dia membutuhkannya dari urusan dunia, seperti keluar untuk menghadap penguasa atau menagih hutang, karena jika dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan syarat Iktikaf ini untuk suatu waktu bukan waktu yang lain, dan itu boleh menurut kesepakatan Ulama. Dan yang paling utama adalah tanpa adanya syarat suatu apapun dari urusan dunia, sebagai jalan keluar dari khilaf sampai seorang yang beriktikaf menfokuskan diri untuk beribadah.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan sesuatu yang membatalkan (merusak) Iktikaf? Jawab:

๐Ÿƒ”Apabila mensyaratkan jimak dalam Iktikafnya, menyaksikan acara hiburan atau tamasya, atau jual beli untuk perdagangan atau mencari uang dengan membuat suatu produk di masjid, maka semua ini tidak boleh; dikarenakan Allah berfirman :

โ€…{ ูˆูŽู„ูŽุง ุชูุจูŽุงุดูุฑููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ูˆูŽุฃูŽ ู†ู’ู€ุชูู…ู’ ุนูฐูƒููููˆู’ู†ูŽโ€…ููู‰ ุงู„ู’ู…ูŽุณูฐุฌูุฏู }.โ€…

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187).

Maka syarat-syarat tersebut adalah syarat untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.”

โœ’(Imam Ibnu Qudamah).

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf menyibukkan diri dengan ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain seperti belajar mengajar? Jawab:

๐ŸŒผ”Apabila diwajibkan atasnya atau tidak membutuhkan waktu kecuali waktu yang singkat, maka sesungguhnya disyariatkan baginya seperti yang lainnya; seperti mengeluarkan zakat, memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar (amar makruf dan nahi mungkar), menjawab salam, berfatwa dan memberi petunjuk kepada kebaikan dan semisalnya.

โžก Apabila tidak diwajibkan atasnya dan membutuhkan waktu yang lama seperti mengajar dan belajar dan semisalnya dari ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain, maka Ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya bagi orang yang beriktikaf.

โžก Yang benar adalah boleh baginya tetapi tidak memperbanyaknya, di mana itu menyibukkannya dari ibadahnya dia dan menghadapnya kepada Allah Ta’ala dengan zikir, merendahkan diri, berdoa dan semisalnya.”