Keterasingan Orang-Orang Yang Di Atas Kebenaran Di Akhir Zaman

💥Keterasingan Orang-Orang Yang Di Atas Kebenaran Di Akhir Zaman💥

🌻Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat: 795) rahimahullah berkata:

“Mereka Ghuroba` (orang-orang asing di akhir zaman) itu ada dua macam :

  1. Orang yang memperbaiki dirinya di saat orang-orang telah rusak (1).
  2. Orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini adalah yang paling tinggi dan paling utama dari dua macam ini.”

📚 Kasyful Kurbah fi Washf Ahlil Ghurbah hal.320.

(1). Di saat orang-orang telah rusak agama dan akhlak mereka. Ukuran kebenaran didasarkan kepada hawa nafsu, budaya, tradisi dan mengedepankan akal serta mengikuti tren mode orang-orang kafir. Kita memohon kepada Allahﷻ, semoga Allahﷻ memperbaiki agama kaum Muslimin supaya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman generasi terbaik umat ini (Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in) dan membuka hidayah kepada orang-orang kafir akan indahnya agama ini.

💐Darul Hadits Mabar Yaman, Ahad 3 Sya’ban 1443H.

✒Muntaqo Al Fawaid
📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Waspadalah Dari Fitnah Wanita

🔥Waspadalah Dari Fitnah Wanita🔥

Allahﷻ berfirman:

{ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا }. النساء (28)

“Dan manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 28)

🌻Waki bin Al-Jarrah (wafat:197) rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini:

“Yaitu : hilang akalnya di sisi para wanita.”

💐Darul Hadits Mabar Yaman, Ahad 3 Sya’ban 1443H.

✒Muntaqo Al Fawaid
📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Kematian Seorang Mukmin

💦Kematian Seorang Mukmin💦

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : ” الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ “. رواه الإمام الإمام أحمد والترمذي والنسائي وابن ماجه وصححه الألباني والوادعي.

Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin wafat dengan keringat di dahinya.”

📚HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jaami’ (11611) dan Syaikh Al-Wadi’iy dalam Ash-Shahih Al-Musnad (172).

🌻Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi (wafat: 1138) rahimahullah berkata:

“Dikatakan; itu tatkala menghadapi rasa sakit menjelang kematian karena terkadang masih ada atasnya dari sisa-sisa dosa sehingga bertambahlah rasa sakit atasnya di waktu menjelang kematiannya untuk menghilangkan dosa-dosanya. Pendapat yang lain: Dikatakan; itu karena rasa malu karena sesungguhnya jika datang kabar gembira untuknya sedangkan dia telah mengetahui dosa-dosa yang dia telah lakukan sehingga dia merasa segan dan malu kepada Allah Ta’ala sehingga berkeringatlah dahinya.
Pendapat ketiga: Dikatakan; ada kemungkinan bahwasanya berkeringatnya dahi adalah tanda kematian seorang mukmin walaupun tidak diketui maknanya (hakikat sesungguhnya).”

📚Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan Ibnu Majah (1/444).

💐Faedah Hadits Pelajaran Dhuhur, Darul Hadits Mabar Yaman, Ahad 3 Sya’ban 1443H.

✒Muntaqo Al Fawaid
📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Akhlak Ulama Hadits

💥Akhlak Ulama Hadits💥

🌻 Imam Asy-Syafi’i (wafat: 204) rahimahullah berkata:

“Tidaklah aku melihat seorang pun dari manusia, ada padanya alat ilmu (keluasan macam-macam ilmu agama) apa yang ada pada Ibnu Uyainah. Dan tidaklah aku melihat seorang pun, yang lebih bagus dalam tafsir hadits dari padanya. Dan tidaklah aku melihat seorang pun, yang lebih menahan diri berfatwa dari padanya.”

📚Dzammul Kalam wa Ahlih (521) karya Al-Harawi (wafat: 481) dengan sanad shahih.

💐Faedah Pelajaran Shahih Bukhori, Darul Hadits Mabar Yaman, Sabtu 2 Sya’ban 1443H.

🌾Muntaqo Al Fawaid

📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Lima Perkara, Tidak Ada Yang Mengetahuinya Kecuali Allahﷻ

💥Lima Perkara, Tidak Ada Yang Mengetahuinya Kecuali Allahﷻ💥

عَنْ بُرَيْدَةَ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:” خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ تَعَال { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ }. رواه الإمام أحمد والبزار وصححه الألباني وحسنه الوادعي.

Dari Buraidah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lima perkara, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:

{ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ }

”Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan-Nya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Qs. Luqman (31): 34.”

📚HR. Imam Ahmad dan Al-Bazzar, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (2914) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Wadi’iy dalam Ash-Shahih Al-Musnad (168).

💐Faedah Hadits Pelajaran Dhuhur, Darul Hadits Mabar Yaman, Sabtu 2 Sya’ban 1443H.

✒Muntaqo Al Fawaid
📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Pahala Atas Musibah

💥Pahala Atas Musibah💥

🍃Sufyan Ats-Tsauri (wafat: 161) berkata:

“Hanya saja pahala itu sesuai kadar kesabaran.”

📚 Hilyatul Auliyaawa Thobaqotul Ashfiyaa(7/54) karya Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy (wafat: 430).

💐Darul Hadits Mabar Yaman, Sabtu 2 Sya’ban 1443H.

✒Muntaqo Al Fawaid
📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Jangan Menjadi Budak Hawa Nafsu

💥Jangan Menjadi Budak Hawa Nafsu💥

🌻Ibnu Hibban Al-Busti (wafat: 354) rahimahullah berkata:

“Barang siapa menginginkan untuk menjadi seorang yang merdeka, maka hendaklah dia menjauh dari syahwat (hawa nafsu) sekalipun tampak lezat.”

📚Raudhatul ‘Uqolaa` hal. 281.

💐Darul Hadits Mabar Yaman, Sabtu 2 Sya’ban 1443H.

🌾Muntaqo Al Fawaid

📱https://t.me/abuzurahwiwitwahyu
🌐https://abuzurahwiwitwahyu.my.id/

Risalah Ketiga Puluh Dua – Bab penjelasan seputar Iktikaf

🌹Risalah Ketiga Puluh Dua🌹

🌷Bab penjelasan seputar Iktikaf 🌷

Soal:

  1. Apakah disyariatkan bagi orang yang salat bahwa setiap dia masuk masjid walaupun dalam waktu yang singkat atau menunaikan salat fardhu meniatkan Iktikaf? Jawab:

🍁”Ulama telah menyebutkan bahwa hal ini tidak disyariatkan dan tidak dilakukan oleh generasi Salaf, bahwa seorang yang masuk masjid karena menunaikan salat Dhuhur, kemudian dia berkata: ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid’, sedangkan dia tidaklah tinggal di masjid kecuali 5 atau 10 menit saja, engkau dapati papan di sebagian masjid orang Sufi : ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid.”
Ini tidak ada dalil padanya, Syaikhul Islam rahimahullah telah memperingatkan tentang perkara ini.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Barang siapa yang berjimak sedangkan dia Iktikaf, apakah batal Iktikafnya? Jawab :

🌻”Barang siapa yang berjimak dengan istrinya dalam keadaan dia ingat, sengaja dan tahu haramnya hal tersebut, maka batal Iktikafnya menurut Ijmak (kesepakatan) Ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

➡ Adapun jika dia lupa dan ini sangat jarang terjadi, maka tidak batal Iktikafnya karena hal itu, dikarenakan Allah Ta’ala tidak menghukum apa yang kita lupa, hanya saja Allah Ta’ala menghukum dengan apa yang hati-hati kita menyengajanya dan karena kealpaan adalah uzur, tidak membatalkan salat dan puasa, begitu pula dengan Iktikaf.”

Soal:

  1. Apakah bercumbu tanpa jimak bagi orang yang Iktikaf membatalkan Iktikafnya? Jawab:

🍀”Dimakruhkan bercumbu dengan syahwat bagi orang yang beriktikaf, secara khusus bahwa Iktikaf tidak batal kecuali dengan jimak, itu adalah yang dimaksudkan dalam firman Allah Ta’ala:

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.  

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

➡ Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Beliau berkata pada firman Allah Ta’ala:

 {وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka”

Yaitu bercumbu, menyentuh dan bersenggama semuanya adalah nama-nama jimak, akan tetapi Allah Ta’ala menamakan apa yang Dia kehendaki dengan sesuai yang Dia kehendaki (yaitu bercumbu kadang tidak bermakna jimak).”

🌺Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Bercumbu yang dilarang Allah Ta’ala darinya bagi orang yang beriktikaf adalah jimak, tidak khilaf padanya menurut yang aku ketahui.”

Soal

  1. Hukum bagi orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya ? Jawab :

🌾”Apabila seorang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya, maka tidak membatalkan Iktikafnya dan tidak berakibat sesuatupun baginya menurut kesepakatan Ulama; sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau dahulu menyisir rambut Nabi ‎ﷺ , sedangkan beliau haid dan Nabi ‎ﷺ beriktikaf di masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di kamarnya dan Rasulullah ‎ﷺ menjulurkan kepalanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

➡ Adapun apabila mengeluarkan seluruh badannya tanpa uzur, maka batal Iktikafnya menurut kesepakatan Ulama; dikarenakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(( وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا )).

“Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beriktikaf.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

➡ Dan juga karena meniadakan dari rukun Iktikaf.”

✒(Fiqhul Iktikaf).

Soal:

  1. Apakah hukum keluarnya seorang yang beriktikaf untuk membangunkan keluarganya agar makan sahur? Jawab:

🌾”Tidak mengapa keluarnya dia di waktu sahur untuk membangunkan keluarganya menyiapkan makan sahur di waktu sahur dan supaya mereka siap untuk melaksanakan salat subuh jika mereka tidak mampu bangun dari tidur dengan sendirinya dan tidak didapati orang yang membangunkan mereka, akan tetapi dia tidak tinggal di rumah setelah membangunkan keluarganya dan kembali ke tempat Iktikafnya di masjid.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Bolehkah bagi orang yang beriktikaf melakukan jual beli ? Jawab:

🍂”Apabila jual beli di dalam masjid, maka itu hukumnya haram,
➡ Apabila dia keluar ke suatu tempat di luar masjid karena keperluan dan dia dapati di jalan sesuatu yang dijual, maka tidak ada penghalang baginya dari hal tersebut.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah dalil atas bolehnya mensyaratkan sesuatu dalam Iktikaf dan apa faedahnya? Jawab:

🌷”Dalilnya adalah hadits Dhuba’ah bintu az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ berkata padanya ketika dia muhrim (dalam keadaan memakai baju ihram):

(( حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي )).

“Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. Bacalah: ‘ALLAHUMMA MAHALLII HAITSU HABASTANII (Ya Allah, tempat (berhenti dari ibadah haji atau umrah)ku adalah di tempat Engkau menahanku).’

➡ Sisi pendalilan: bahwasanya Ihram mengharuskan ibadah dengan adanya permulaan, dan boleh menyelisihinya dengan syarat, maka iktikaf lebih utama. Dan karena Iktikaf tidak dikhususkan dengan kemampuan, maka apabila dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan dia bernazar melakukan apa yang dia mampu.

➡ Dan faedah dari pensyaratan sesuatu dalam Iktikaf tidak batal Iktikafnya dengan keluarnya karena syaratnya tersebut.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan keluar karena tujuan urusan dunia atau urusan akhirat bagi orang yang beriktikaf? Jawab:

🌿”Boleh bagi orang yang beriktikaf mensyaratkan sesuatu yang di dalamnya bentuk ibadah seperti menjenguk orang sakit, atau menghadiri jenazah atau sesuatu yang dia membutuhkannya dari urusan dunia, seperti keluar untuk menghadap penguasa atau menagih hutang, karena jika dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan syarat Iktikaf ini untuk suatu waktu bukan waktu yang lain, dan itu boleh menurut kesepakatan Ulama. Dan yang paling utama adalah tanpa adanya syarat suatu apapun dari urusan dunia, sebagai jalan keluar dari khilaf sampai seorang yang beriktikaf menfokuskan diri untuk beribadah.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan sesuatu yang membatalkan (merusak) Iktikaf? Jawab:

🍃”Apabila mensyaratkan jimak dalam Iktikafnya, menyaksikan acara hiburan atau tamasya, atau jual beli untuk perdagangan atau mencari uang dengan membuat suatu produk di masjid, maka semua ini tidak boleh; dikarenakan Allah berfirman :

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }. 

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187).

Maka syarat-syarat tersebut adalah syarat untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf menyibukkan diri dengan ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain seperti belajar mengajar? Jawab:

🌼”Apabila diwajibkan atasnya atau tidak membutuhkan waktu kecuali waktu yang singkat, maka sesungguhnya disyariatkan baginya seperti yang lainnya; seperti mengeluarkan zakat, memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar (amar makruf dan nahi mungkar), menjawab salam, berfatwa dan memberi petunjuk kepada kebaikan dan semisalnya.

➡ Apabila tidak diwajibkan atasnya dan membutuhkan waktu yang lama seperti mengajar dan belajar dan semisalnya dari ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain, maka Ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya bagi orang yang beriktikaf.

➡ Yang benar adalah boleh baginya tetapi tidak memperbanyaknya, di mana itu menyibukkannya dari ibadahnya dia dan menghadapnya kepada Allah Ta’ala dengan zikir, merendahkan diri, berdoa dan semisalnya.”

Risalah Ketiga Puluh Satu – Bab penjelasan seputar iktikaf

🌹Risalah Ketiga Puluh Satu🌹

🌷Bab penjelasan seputar iktikaf🌷

Soal:

  1. Apakah hukum keluarnya seorang yang beriktikaf karena adanya keperluan? Jawab :

🍃”Ulama telah sepakat bahwasanya boleh bagi orang yang beriktikaf untuk keluar karena adanya keperluan; misalnya buang air kecil dan buang air besar; sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

(( وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا )).

“Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beriktikaf”.

Dan perkataan beliau radhiyallahu ‘anha: “karena hajat manusia”
adalah kiasan dari buang hajat yaitu buang air kecil dan buang air besar.

🌿Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah :

“Ulama telah sepakat tentang bolehnya bagi seorang yang Iktikaf keluar untuk suatu keperluan yang tidak boleh tidak dia harus keluar semisal buang hajat dan mandi junub.”

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf keluar untuk makan dan minum bersamaan memungkinkan baginya untuk mendatangkannya ke masjid? Jawab:

🌷”Tidak boleh keluar dari masjid untuk makan dan minum jika memungkinkan baginya untuk mendatangkannya ke dalam masjid; dikarenakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan bahwa Rasulullah ‎ﷺ hanya keluar untuk hajat manusia, dan ini adalah kiasan dari buang air kecil dan buang air besar, dipahami darinya bahwa Beliau ‎ﷺ tidak keluar ke rumahnya selain dari dua hajat ini, tidak keluar untuk makan atau minum.
Dan karena iktikaf adalah menetapi (berdiam diri) di masjid untuk beribadah, maka tidak boleh keluar darinya kecuali kepada sesuatu yang mengharuskannya, makan dan minum memungkinkan didapatkan di masjid,
➡ Apabila dia tidak mendapati orang yang memberinya (mengantarkannya) makan dan minum, maka boleh baginya keluar.”

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang iktikaf keluar untuk menghadiri jenazah atau menjenguk orang sakit ? Jawab:

🍂”Tidak boleh bagi seorang yang sedang beriktikaf keluar untuk menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah, apabila dia melakukan hal tersebut maka batal Iktikafnya, sama saja dia beriktikaf wajib (nazar) atau sunnah, karena Iktikaf adalah berdiam diri untuk menetapi masjid, dan keluar tanpa keperluan yang mendesak meniadakan perkara ini; sebab mengunjungi orang yang sakit dan menghadiri jenazah bukanlah fardhu ‘ain yang sampai mewajibkan orang yang beriktikaf keluar untuk menunaikannya.

➡ Sungguh telah datang dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau berkata kepada orang yang beriktikaf: ‘Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak pula menghadiri jenazah, tidak menjimaki perempuan, tidak pula mencumbuinya dan tidak boleh keluar kecuali kepada sesuatu yang mengharuskannya untuk keluar darinya’.”

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf keluar ke halaman masjid untuk duduk-duduk dan semisalnya? Jawab:

🌾”Tidak diragukan bahwa halaman yang di pagari adalah termasuk masjid, adapun halaman yang tidak terpagari tetapi dijadikan untuk keperluan masjid jika diperlukan untuk tambahan, maka ini bukanlah termasuk masjid, dan dibangun atas dasar tersebut, bolehnya seorang yang beriktikaf keluar ke halaman, jika dia keluar ke halaman yang termasuk masjid, maka ini tidaklah mengapa baginya. Dan apabila keluar ke halaman yang bukan termasuk masjid, maka tidak boleh. Dan dari hal itu, di Masjidil Haram tempat Sa’i bukan dari masjid. Maka apabila orang yang beriktikaf keluar ke tempat Sa’i, itu tidak boleh baginya. Dan terlebih lagi apabila keluar ke halaman yang mengelilingi dari belakang tempat Sa’i, ini bukanlah termasuk masjid. Maka barang siapa yang keluar kepadanya dalam Iktikafnya tidak boleh baginya keluar. Dan batal Iktikafnya kecuali apabila memiliki uzur.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🍂”Jika halaman terlingkupi pagar masjid bersambung dengannya, dan ditegakkan syiar (tanda) Masjid: seperti salat Tahiyyatul Masjid dan kesucian tempat, tidak boleh jual beli, tidak boleh mengumumkan barang yang hilang dan ditegakkan sholat padanya, maka boleh Iktikaf di dalamnya, keluar kepadanya, akan tetapi bila luput sesuatu dari hal tersebut; maka tidak boleh dihukumi sebagai masjid, tidak boleh bagi seorang yang beriktikaf keluar kepadanya melainkan darurat.”

✒(Syaikh Taufiq Al-Ba’dany).

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang beriktikaf keluar ke kamar-kamar yang mengikuti masjid atau Iktikaf di dalamnya?
    Jawab :

🌺”Kamar-kamar yang berada di dalam masjid dan pintu-pintunya yang masuk menuju ke dalam masjid dihukumi masjid, baginya hukum masjid,
➡ Adapun apabila di luar masjid, maka bukan masjid walaupun pintu-pintunya dalam masjid.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

“Dan yang benar bahwasanya apabila kamar itu masuk ke dalam masjid, maka itu bagian dari masjid walaupun untuk menyimpan kunci atau lampu.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf di atap masjid? Jawab:

🌻”Kebanyakan Ulama berpendapat akan sahnya Iktikaf di dalamnya dan naiknya seorang yang berkiktikaf ke tempat itu; dikarenakan firman Allah Ta’ala:

 {وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

Dan atap masjid termasuk dari masjid.”

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang beriktikaf berpindah Iktikafnya ke masjid lain? Jawab:

🌻”Jika dia keluar kepada sesuatu yang mengharuskannya kemudian dia masuk masjid lain dan dia menyempurnakan Iktikafnya di situ, hal ini boleh, apabila masjid yang ke dua lebih dekat kepada tempat keperluannya dibandingkan masjid yang pertama.

➡ Dan apabila lebih jauh atau memulai keluar kepadanya (masjid kedua) tanpa uzur, maka batal Iktikafnya; dikarenakan dia meninggalkan tempat berdiamnya yang yang lebih berhak (tempat pertama), diputuskan dengannya dalam furu’ (cabang) madzhab (Al-Hanabilah) dan selainnya.”

✒(Imam Al-Mardawiy).

Soal:

  1. Apakah puasa syarat sahnya Iktikaf? Jawab :

🍁”Boleh Iktikaf walaupun tidak berpuasa, sama saja iktikaf wajib atau sunnah; dikarenakan Allah Ta’ala menyebutkan Iktikaf, Allah berfirman :

{ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

Dan juga firman Allah Ta’ala:

{ أََنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ }.

“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang yang iktikaf,”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 125)

Tidak dikhususkan untuk orang yang berpuasa bukan selainnya (yang tidak berpuasa).

Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu bernazar beriktikaf semalam di Masjidil Haram, kemudian Nabi ‎ﷺ bersabda kepadanya:

(( أَوفِ بِنَذرِكَ )).

“Tunaikanlah nazarmu.”

🌳Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah:

“Dijadikan dalil atas hal ini bolehnya beriktikaf tanpa puasa karena malam bukan waktunya puasa, kalau puasa adalah syarat, maka tentu Rasulullah ‎ﷺ memerintahkan Umar ‎radhiyallahu ‘anhu dengannya.”

Soal

  1. Apa batasan banyak dan sedikitnya waktu Iktikaf? Jawab:

🌱”Adapun tentang banyaknya waktunya, Ulama telah sepakat bahwasanya tidak ada batasan banyaknya, adapun paling sedikitnya, maka cukup baginya apa yang dinamakan dengannya berdiam diri atau menetapi walaupun sebagian dari hari dengan niat Iktikaf; dikarenakan tidak adanya dalil disyaratkannya Iktikaf harus sehari penuh.

➡ Yang paling utama adalah tidak kurang Iktikafnya dari sehari karena tidak dinukilkan dari Nabi ‎ﷺ atau dari satu orang sahabat radhiyallahu ‘anhum, Iktikaf kurang dari sehari. Sungguh, dahulu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum duduk di masjid karena menunggu salat dan mendengarkan khutbah atau ilmu dan semisalnya, tidak dinyatakan dari mereka bahwa maksudnya adalah iktikaf. Dan dalam hal ini juga untuk keluar dari khilaf Ulama.”

Soal:

  1. Aku tidak memiliki kemampuan untuk Iktikaf 10 hari terakhir Ramadan, apakah boleh bagiku beriktikaf di sebagian harinya? Jawab :

🌼”Memungkinkan bagi seseorang untuk beriktikaf sehari atau dua hari akan tetapi yang paling utama dan sempurna dia beriktikaf 10 hari yang terakhir semuanya.”

✒(Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad).

“Iktikaf yang sunnah adalah 10 hari semuanya; dikarenakan perbuatan Rasulullah ‎ﷺ. Dan barang siapa yang beriktikaf semalam saja dari 10 hari, maka di sini kami katakan: ‘Diberi pahala atasnya, akan tetapi belum melaksanakan sunnahnya’.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Risalah Kedua Puluh Sembilan – Bab Penjelasan Seputar Iktikaf

🌹Risalah Kedua Puluh Sembilan🌹

🌷Bab Penjelasan Seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Apa yang sepantasnya bagi seorang yang beriktikaf? Jawab : 🍁”Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap orang yang beriktikaf, maka hendaklah tidak saling mencela, berkata-kata kotor, menyuruh keluarganya dengan suatu kebutuhan (yang menyibukkan diri dengan urusan dunia), dan jangan duduk di sisi mereka (supaya lebih fokus dalam beribadah).” 🌿Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Wajib bagi orang yang beriktikaf menjaga lisannya, tidak menaunginya melainkan atap masjid, dan tidak pantas baginya jika beriktikaf menjahit atau bekerja.”

🍃Syaikhul Islam rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya sepantasnya bagi orang yang beriktikaf sibuk dengan ibadah saja antara dia dan Allah Ta’ala. Misalnya: membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, istighfar, salat, tafakkur dan semisalnya.”

🌳Al-Imam Al-Albany rahimahullah berkata:

“Apa yang dilakukan orang-orang bodoh menjadikan orang-orang yang iktikaf tempat berkumpul dan datangnya para pengunjung, menjadikan tempat menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, maka ini suatu warna (yang keliru), dan Iktikaf sesuai bimbingan Nabi adalah warna yang lain. Dan Allah lah Pemberi taufik.”

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf? Jawab:

🌻”Ibnu Abdil Bar dan Imam An-Nawawi rahimahumullah menukilkan ijmak (kesepakatan Ulama) bahwasanya Iktikaf adalah sunnah bukanlah suatu kewajiban.

➡ Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ‘Terus-menerusnya Rasulullah ‎ﷺ atas Iktikaf menunjukkan bahwa iktikaf sunnah dari sunnah-sunnah muakkad (yang ditekankan),
➡ Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Beliau berkata: ‘Sungguh mengherankan kaum Muslimin telah meninggalkan Iktikaf sedangkan Nabi ‎ﷺ tidak pernah meninggalkannya sejak tinggal di Madinah sampai Allah Ta’ala mewafatkan Beliau ‎ﷺ.”

✒(Fathul Baari).

Soal:

  1. Kapan iktikaf itu menjadi wajib? Jawab:

🌿Iktikaf itu menjadi wajib jika seorang itu mewajibkan bagi dirinya dengan bernazar, sebagaimana hadits Umar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فقَالَ لي رسول الله ‎ﷺ:(( أَوْفِ بِنَذْرِكَ )).

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu Beliau mengatakan; ‘Aku bernazar semasa jahiliyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Penuhi nazarmu!.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍀Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Ulama sepakat bahwa Iktikaf sunnah tidak wajib ‘ain bagi manusia, kecuali apabila seseorang mewajibkannya bagi dirinya dengan bernazar akan beriktikaf.”

Soal:

  1. Apa saja rukun Iktikaf itu? Jawab :

🌾”Iktikaf mempunyai dua rukun:

1). Berdiam diri di masjid; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

🍂Berkata Imam Al-Qurthubiy:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak dilakukan kecuali di masjid.”

2). Berniat iktikaf; sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ :

(( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ )).

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.”

🌷Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak sah melainkan dengan berniat.”

Soal:

  1. Apakah syarat-syarat Iktikaf ? Jawab:

🌳”Iktikaf mempunyai syarat-syarat yaitu :

1). Islam; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ إلَّاۤ أَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهٖ }

“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 54)

2). Berakal
3). Tamyiz (bisa membedakan).

Dalil syarat 2 dan 3 adalah:

عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ )).

Dari Abu Adh-Dhuha dari Ali radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal.”

4). Disyaratkan juga:

➡ Sahnya Iktikaf menurut kebanyakan Ulama adalah suci dari hadats besar seperti: haid, nifas dan junub,

➡ Adapun hadats kecil, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah menukilkan kesepakatan kaum muslimin: ‘Tidak disyaratkannya.’

5). Bagi hamba sahaya adalah ijin dari Tuannya, ijin suami bagi seorang istri;
sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta ijin dari Nabi ‎ﷺ untuk beriktikaf dan Beliau ‎ﷺ mengijinkannya.

➡ Dan dalam masalah seorang budak,
Imam Ibnu Hubairah berkata rahimahullah: ‘Ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidak boleh beriktikaf melainkan dengan ijin tuannya’.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan ijin kedua orang tua dalam Iktikaf? Jawab:

🌱”Seorang pemuda belia tidak beriktikaf melainkan dengan ijin keluarganya, adapun pemuda dewasa, di sana ada kaidah Ulama : ‘Bahwasanya sesuatu yang bermanfaat bagi seorang anak dan tidak ada kemudaratan atas orang tuanya, maka tidak mengapa dia tidak meminta ijin.’

➡ Akan tetapi jika kedua orang tua atau salah satu darinya mendapatkan madarat disebabkan terputus hubungannya dengan anak karena berada di masjid untuk Iktikaf, maka harus meminta ijin,
➡ Akan tetapi seandainya jika orang tua tidak membutuhkannya untuk berada di sisi mereka karena adanya beberapa anak yang lain disisi mereka, maka tidak ada alasan bagi orang tua (untuk menghalanginya), di sini kita melaksanakan apa yang tetap (tsabit) dari kaum Salaf dan atsar mereka.

➡ Datang seorang laki-laki kepada Imam Ahmad rahimahullah dan berkata kepada Beliau : ‘Aku ingin menuntut ilmu dan ibuku melarangku?’, Kemudian Beliau menjawab : ‘Tuntutlah ilmu dan melobilah dengan baik’ .”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah sunnah-sunnah Iktikaf? Jawab:

🍀”Sunnah-sunnah iktikaf adalah menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, salat dan semisalnya, tidak menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang tidak bermanfaat di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang beriktikaf, engkau dapati dia berdiam diri di masjid kemudian orang mendatanginya setiap saat, berbincang-bincang dengannya, memutus iktikafnya tanpa faedah.

➡ Adapun terkadang berbicara dengan sebagian orang atau keluarga, maka ini tidak mengapa, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari perbuatan Rasulullah ‎ﷺ ketika Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mendatanginya dan mengajak bicara sementara waktu kemudian kembali ke rumahnya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukumnya wajib menyempurnakan Iktikaf karena telah memulainya? Dan barang siapa yang memutus Iktikafnya secara sengaja, apakah wajib atasnya mengqodho (menggantinya)? Jawab:

🌰”Tidak wajib menyempurnakan Iktikaf kecuali jika dia bernazar untuk beriktikaf, dan tidak berdosa orang yang menyengaja memutusnya; dikarenakan tidak wajib memulai Iktikaf, maka tidak wajib pula menyempurnakan Iktikaf yang dia telah memulainya dan selanjutnya tidak wajib mengqodhonya.”

➡ Adapun Rasulullah ‎ﷺ mengqodho Iktikaf yang Beliau telah memulainya kemudian memutusnya, ini adalah hukumnya sunnah saja; dikarenakan Beliau ‎ﷺ jika melakukan sesuatu amalan, Beliau tetapkan.

➡ Sedangkan istri-istri Beliau ‎ﷺ meninggalkan Iktikaf juga setelah memulainya, tidak dinukilkan dari para istri Beliau ‎ﷺ bahwasanya mereka beriktikaf bersama Beliau ‎ﷺ pada bulan Syawal mengqodho Iktikaf.

➡ Adapun firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبْطِلُوْۤا أَعْمَالَـكُمْ }.

“Janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad 47:

Maka larangan tergantung yang dilarang darinya, maka apabila amalan itu wajib, maka tidak boleh membatalkannya tanpa uzur, apabila amalan itu sunnah, maka makruh membatalkannya tanpa uzur.”

Soal:

  1. Apa disyariatkan mengqodho bagi orang yang sibuk untuk menyempurnakannya? Jawab:

🌴”Ya, disyariatkan; sebagaimana telah tetap dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa Nabi ‎ﷺ ketika meninggalkan Iktikaf pada sepuluh terakhir Ramadan, Beliau ‎ﷺ beriktikaf 10 hari dibulan Syawwal sebagai gantinya.”

🍂Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Pada Iktikafnya ‎ﷺ di bulan Syawal adalah dalil bahwasanya amalan sunnah yang biasa dilakukan jika luput, maka disunnahkan diqodho.”

Soal:

  1. Kapan waktu Iktikaf? Jawab:

🌷”Iktikaf boleh kapan saja dan yang utama pada 10 terakhir Ramadan karena mencontoh Nabi ‎ﷺ. Sungguh telah tetap dari Beliau ‎ﷺ bahwa Beliau ‎ﷺ beriktikaf pada bulan Syawal di beberapa tahun.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).
[13:25, 3/5/2022] Ustad Abu Zur’ah Atau Wiwid: 🌹Risalah Ketiga Puluh🌹

🌷Bab penjelasan seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Di manakah laki-laki dan perempuan beriktikaf? Jawab:

🍁”Tidak ada perbedaan pendapat di antara Ulama bahwasanya tidak sah iktikaf seseorang melainkan di masjid; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

{ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Ketika kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187).

Maka Iktikaf dikhususkan di masjid (1) dan Ulama menyertakan perempuan dalam hal itu, karena keumuman ayat. Maka ayat itu mencakup laki-laki dan perempuan, dan karena para istri Nabi ‎ﷺ menginginkan beriktikaf bersama Beliau ﷺ di masjid, seandainya Iktikaf di selain masjid adalah utama sungguh Rasulullah‎ ﷺ akan menunjukkan kepada mereka hal tersebut.”


(1).

🌾Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

“Sisi pendalilan dari ayat bahwa seandainya sah- yaitu: Iktikaf- pada selain masjid, maka tidak dikhususkan pengharaman jimak dengannya; dikarenakan jimak meniadakan (maksud) iktikaf menurut kesepakatan para Ulama, maka diketahui dari penyebutan masjid-masjid bahwa Iktikaf tidaklah dilakukan melainkan di dalamnya.”

📚 (Fathul Bariy 4/281-282).

Soal:

  1. Apa yang wajib bagi wanita yang ingin beriktikaf? Jawab:

🌺”Disyaratkan baginya ijin dari suaminya,

🍀Ibnul Mundzir dan selainnya berkata:

“Apabila seorang wanita beriktikaf tanpa ijin suami, maka dia (suami) berhak mengeluarkannya, dan apabila dengan ijin suami maka baginya ruju’ (kembali untuk mengubah ijinnya) kemudian dia melarangnya.”

📚 (Fathul Baariy).

🌻Disyaratkan sahnya iktikaf seorang wanita yaitu aman dari fitnah, dan tidak disyaratkan sahya iktikaf seorang wanita di masjid yang didirikan salat Jum’at dan tidak pula salat Jamaah karena keduanya tidak diwajibkan bagi wanita, disebutkan hal itu oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.”

Soal:

  1. Manakah masjid yang paling utama untuk beriktikaf di dalamnya ? Jawab:

🍁”Masjid yang paling utama untuk beriktikaf adalah Masjidil Haram, kemudian Masjidin Nabawiy selanjutnya Masjidil Aqsho; dikarenakan masjid-masjid tersebut paling utamanya masjid secara mutlak, kemudian masjid besar yang banyak jamaahnya di salat Jum’at dan salat berjamaah; karena salatnya seorang dengan seorang laki-laki lebih menyucikan diri daripada salat sendirian dan salatnya seorang laki-laki bersama dua laki-laki lainnya lebih menyucikan diri dari pada salatnya dia bersama seorang laki-laki, maka bersemangat mencari masjid besar supaya terwujud maksud iktikaf dan hikmahnya, yaitu menghadap kepada Allah Ta’ala dan menyibukkan diri dengan berzikir. Wallahua’lam.”

✒(Fiqhul I’tikaf).

Soal:

  1. Apakah syarat masjid yang dapat dilaksanakan iktikaf di dalamnya? Jawab:

🌳”Disyaratkan bagi masjid yang akan dilaksanakan iktikaf di dalamnya adalah masjid yang ditegakkan salat Jamaah, hal itu karena wajibnya hadir salat jamaah di masjid yang didirikan jamaah menurut pendapat yang rajih (kuat) dari kalangan Ulama.”

🌼Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

“Itu adalah pendapat kebanyakan Taabi’in, dan tidak dinukilkan dari Sahabat adanya khilaf melainkan khilaf pendapat yang mengkhususkan iktikaf di 3 masjid (Masjidil Haram, Masjidin Nabawiy, Masjidil Aqsho) atau Masjid Nabi saja.”

➡ Tidak disyaratkan di masjid yang ditegakkan salat Jum’at karena keluarnya dari masjid jarang sekali melainkan disebabkan harus keluar darinya (untuk menunaikan salat Jum’at), maka tidaklah ini meniadakan makna Iktikaf itu sendiri.”

Soal:

  1. Bagaimana dengan hadits : (( لَا اِعتِكَافَ إِلاَّ فِي المَسَاجِدِ الثَلَاثَة )). “Tidak ada Iktikaf kecuali di 3 (masjid Masjidil Haram, Masjidin Nabawiy, Masjidil Aqsho).”_ Jawab:

🌱”Haditsnya lemah, apabila hadits ini tsabit (bisa dijadikan dalil), maka peniadaan di sini adalah peniadaan kesempurnaan, dan sesungguhnya ibadah di 3 masjid lebih sempurna dibandingkan masjid selainnya, kita tidak mempersempit atas manusia sesuatupun yang Allah Ta’ala melapangkan atas mereka.”

✒(Syaikh Muqbil Al-Wadi’y).

Soal:

  1. Bolehkah melakukan safar untuk beriktikaf ke selain 3 masjid tersebut? Jawab:

🌰”Apabila tujuan safar hanya ingin iktikaf saja, maka termasuk dalam larangan hadits yang telah tetap (tsabit).

(( لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ )).

“Tidak boleh bepergian (dengan ibadah) melainkan ke tiga masjid.”

➡ Jika safar (melakukan perjalanan) berniat menuntut ilmu, kemudian apabila berniat dengan safarnya itu beriktikaf ketika di tempat saudara-saudaranya dan dia menuntut ilmu, maka safar dengan niat menuntut ilmu tidak mengapa dengannya. Sebab Nabi ‎ﷺ bersabda:

(( مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ )).

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Kapan seorang yang ingin beriktikaf masuk tempat iktikafnya dan kapan keluar darinya ? Jawab:

🌴”Apabila dia ingin beriktikaf sebulan atau kurang atau lebih dari itu karena nazar (wajib) atau sunnah, maka dia masuk ke tempat Iktikafnya dari malam awal hari tersebut,
➡ Apabila ingin beriktikaf 10 hari terakhir Ramadan, maka dia masuk malam 21 Ramadan menurut pendapat Jumhur Ulama; dikarenakan malam mendahului siang, maka malam Jum’at adalah sebelum hari Jum’at.

➡ Dan yang menunjukkan atas masuknya malam awal hari iktikaf di dalamnya adalah bahwa yang paling agungnya maksud iktikaf adalah mencari Lailatul Qadar, dan malam itu adalah termasuk yang diharapkan di malam-malam ganjil di 10 hari terakhir, yang pertamanya adalah malam 21, maka mustahil Rasulullah ‎ﷺ meninggalkan iktikaf itu, hanya saja iktikaf 10 hari itu agar mendapatkan keutamaan malam-malam ini dan mencari Lailatul Qadar.”

Soal:

  1. Bagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: إن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ.

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak Iktikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat I’tikafnya.”
(HR. Bukhori dan Muslim) ?

Jawab:

🍃”Hadits ini memiliki 2 kemungkinan:
1). Bahwa Beliau ‎ﷺ masuk dari awal malam , hanya saja Beliau ‎ﷺ menyendiri dalam tempat yang disediakan baginya untuk Iktikaf setelah salat Subuh.
2). Beliau ‎ﷺ masuk tempat iktikafnya pada pagi hari ke 20 sebelum malam 21; maka ini adalah tambahan dalam kebajikan dan kebaikan serta semangat untuk mendapatkan Lailatul Qadar.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan bagi orang yang beriktikaf baginya kamar atau tenda yang menutupinya? Jawab:

🌿”Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan:

(( أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ )).

“Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu, apabila selesai dari shalat Subuh, Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.”_

➡ Di dalamnya terdapat dalil bagi orang yang beriktikaf disyariatkan baginya untuk mendirikan kemah jika memungkinkan itu tanpa mempersempit orang-orang yang salat.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Manakah yang lebih utama berzikir setelah salat di masjid atau di tempat Iktikaf? Jawab:

🌷Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa

أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ.

“Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu apabila selesai dari salat Subuh Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍂Berkata Ibnul Mulaqqin rahimahullah:

“Di dalam hadits bahwa sesuai Sunnah jika seorang beriktikaf di masjid dan salat shubuh di suatu tempat di masjid selain tempat dia beriktikaf, dia tidak duduk di tempat salatnya sampai terbit matahari bahkan dia kembali setelah selesai dari salatnya ke tempat dia beriktikaf; dikarenakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(( أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ )).

Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu apabila selesai dari salat Subuh Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.