Risalah Ketiga Puluh Tujuh – Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih

[10:06, 3/12/2022] Ustad Abu Zur’ah Atau Wiwid: 🌹Risalah Ketiga Puluh Tujuh🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih🌷

Soal:

  1. Apakah disyariatkan membaca doa Istiftah pada setiap 2 rakaat dari salat Tarawih? Jawab:

🍁”Disyariatkan membaca doa Istiftah pada rakaat pertama di setiap 2 rakaat, seperti dalam salat fardhu, dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ membaca doa istiftah pada salat malam, sedangkan salat malam adalah salat sunnah, dan karena pada asalnya sama antara salat Sunnah dan Fardhu kecuali yang dikhususkan dengan dalil, akan tetapi apabila imam sudah memulai dengan bacaan jahriyah (dikeraskan) sebelum makmum membaca bacaan istiftah, maka wajib bagi makmum untuk diam dan gugur atasnya bacaan istiftah; dikarenakan keumuman firman Allah Ta’ala:

{ وَإذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ }.

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 204)

Dan sabda Nabi ‎ﷺ :

(( وَإِذَا قَرَأَ فَأَنصِتُوا )).

“Apabila dia (imam) membaca maka diamlah.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Berapa rakaat salat malam yang paling utama? Jawab :

🌻”Yang utama adalah yang dahulu sering dikerjakan oleh Nabi ‎ﷺ, yaitu 8 rakaat dan salam di setiap 2 rakaat, dan witir 3 rakaat dengan khusyuk, tumakninah dan tartil dalam membaca Al-Qur’an.”

✒(Imam Ibnu Baz).

🌿”Kita katakan : ‘Salatlah sekehendakmu selama jamaah masjid telah ridha (menerima) dengan hal itu, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari.’

➡ Adapun apabila orang-orang berselisih, maka kembali kepada Sunnah lebih utama. Dan Sunnah tidak lebih dari 13 rakaat,

▶ Adapun tanpa adanya perbedaan antara jamaah atau mereka setuju maka salat 23 rakaat atau lebih, selama mereka tidak mengatakan: ‘Ringankahlah (salat).’ Apabila mereka mengatakan: ‘ringankahlah’, maka tidak boleh menambah lebih dari 11atau 13 rakaat.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin ).

Soal:

  1. Bolehkah menambah salat malam lebih dari 11 rakaat? Jawab:

🍀”Tidak mengapa menambah lebih dari itu; dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ tidak membatasi jumlah rakaat dalam salat malam. Dalilnya adalah:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام صَلَاةُ اللَّيْلِ:(( مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى )).

Dari Ibnu ‘Umar, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi salat yang telah dilaksanakan sebelumnya.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

➡ Beliau ‎ﷺ tidak membatasi 11 rakaat atau bilangan yang lainnya. Ini menunjukkan luasnya (bolehnya) pada salat malam pada bulan Ramadan dan selainnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apa yang sepantasnya bagi orang yang mencukupkan 11 rakaat pada salat malam? Jawab:

🌺”Telah sepakat Ulama bahwasanya tidak ada batasan dan tidak ada ukuran pada salat malam, salat malam hukumnya Sunnah. Barang siapa yang berkehendak, maka dia memanjangkan salat malam atau menyedikitkan rakaat-rakaatnya. Dan barang siapa yang berkehendak memperpanjang rukuk dan sujud.”

✒(Imam Ibnu Abdil Bar).

🍀”Kaidah di sisi Ulama dalam hal tersebut bahwasanya dahulu mereka apabila memanjangkan bacaan mempersedikitkan jumlah rakaat. Dan apabila mereka memendekkan bacaan, maka menambah bilangan rakaat.”

✒(Al-Hafizh Ibnu Hajar).

Soal:

  1. Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang salat bersama imam yang salatnya 23 rakaat, orang tersebut salat bersama imam 11 rakaat ke…
    [10:07, 3/12/2022] Ustad Abu Zur’ah Atau Wiwid: 🌹Risalah Ketiga Puluh Delapan🌹

🌷Bab Seputar Penjelasan Tentang Salat Tarawih🌷

Soal:

  1. Apakah hukum seorang imam membaca mushaf Al-Qur’an dalam salat Tarawih? Jawab:

🌷”Membaca dengan melihat mushaf Al-Qur’an pada salat Tarawih tidak mengapa dengannya, apabila imam tidak hafal, sungguh hal itu telah datang keterangan dari sebagian Salaf.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🌿”Barang siapa yang hafal banyak dari Al-Qur’an, maka tidak sepantasnya dia melihat mushaf, karena melihat Al-Qur’an akan membuat sibuk dan menyibukkan yaitu: membawa, membuka dan menurunkannya, dan tidak memungkinkan bagi seseorang meletakkan kedua tangannya di atas dadanya yang itu adalah sunnah dalam salat.

➡ Akan tetapi apabila seseorang terpaksa kepada hal itu (melihat mushaf dalam salat) karena dia sebagai imam dan mengimami manusia salat tarawih, dia tidak hafal Al Qur’an, maka boleh baginya membaca dari mushaf.”

✒(Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad).

Soal:

  1. Apakah hukum membawa mushaf dari sisi makmum untuk mengikuti bacaan imam dalam salat tarawih ? Jawab:

🍃”Membawa Al-Qur’an untuk tujuan ini menyelisihi sunnah dari beberapa sisi :
1). Seseorang akan luput untuk meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya ketika berdiri.
2). Mengantarkan kepada gerakan-gerakan yang banyak yang tidak diperlukan yaitu membuka mushaf, menutupnya, meletakkannya di ketiak, di saku dan selainnya.
3). Sesungguhnya itu pada hakikatnya menyibukkan orang yang salat.
4). Orang yang salat terluput dari melihat ke arah tempat sujud. Kebanyakan Ulama memandang bahwa melihat ke tempat sujud adalah sunnah yang di utamakan.
5). Orang yang melakukan hal tersebut, bisa jadi lupa bahwa dia dalam keadaan salat, jika dia tidak menghadirkan hatinya kalau dia sesungguhnya sedang salat. Berbeda dengan orang yang khusyuk dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, menundukkan kepalanya ke arah sujud, maka dia akan lebih dekat untuk menghadirkan hati bahwa dia dalam keadaan salat di belakang imam.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Hukum salah seorang makmum membawa mushaf untuk membenarkan bacaan imam jika keliru pada salat Tarawih? Jawab:

🌿”Apabila seorang makmum membawa mushaf dan membukanya untuk imam karena adanya keperluan, barangkali ini tidak mengapa, adapun apabila setiap orang memegang Al-Qur’an, maka ini menyelisihi sunnah.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:

  1. Seorang imam terlalu cepat dalam salat Tarawihnya sampai hampir-hampir makmum tidak dapat menyempurnakan bacaan Al-Fatihah, apakah yang harus kita lakukan? Jawab:

🍂”Disyariatkan baginya untuk mencari imam lain, yang membaca Al-Qur’an dengan tartil dan tumakninah dalam salat, apabila itu tidak mudah baginya, maka dia salat tarawih sendirian di rumahnya, sepantasnya bagi sesepuh (orang yang dihormati) dari makmum (jamaah) untuk menasihati imam ini sampai dia membaca dengan tartil dan tumakninah; dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ )).

“Agama itu adalah nasihat.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Bagaimana hukum seorang imam yang mencukupkan bacaannya dalam salat Tarawih dengan membaca seayat atau dua ayat dari surat Al-Baqarah sebagai misal? Jawab:

🌺”Yang disyariatkan bagi imam salat Tarawih adalah memanjangkan bacaannya yang tidak memberatkan bagi makmum, dan kalau tidak, hendaklah dia membaca sejumlah ayat dalam satu rakaat. Adapun memperpendek bacaan setiap rakaat dengan membaca satu atau dua ayat, maka hendaklah ini yang utama adalah ditinggalkan; dikarenakan ini menjadikan makmum luput dari mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang panjang dan menjadi sebab terhalanginya mereka dari pahala dan ganjaran. Dan bagi imam masjid agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam salat mereka, dan menjadi penasihat bagi saudaranya kaum Muslimin, menyemangati mereka dalam salatnya, bersemangat dalam tersampaikannya kebaikan bagi mereka.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Seorang imam mengimami dengan bacaan kurang lebih satu halaman dalam satu rakaat kemudian sebagian makmum merasa keberatan, bagi mereka ini bacaan panjang, apakah imam memperpendek bacaannya? Jawab:

🌾”Bacaan imam ini pada sholat tarawih pada setiap rakaat satu halaman bukanlah terhitung bacaan panjang bahkan bacaan sedang sekalipun tidak mendekati bacaan pendek dan ini mencocoki sebagian besar makmum,
➡ Apabila diperkirakan di sana ada seorang atau dua orang tidak mampu hal itu, perkara dalam salat sunnah luas, walhamdulillah, memungkinkan untuk keduanya salat dalam keadaan duduk, mereka jika salat dalam keadaan duduk karena berat baginya untuk berdiri, maka mereka salat dalam keadaan duduk karena adanya uzur. Barang siapa yang salat duduk karena uzur ditulis baginya pahala salat berdiri, maka aku memandang agar imam meneruskan apa yang dia berjalan di atasnya dari bacaan ini, dan aku tidak memandang bacaan ini terhitung panjang yang terlarang darinya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apa hukumnya terus menerus membaca surat Al-A’la, Al Kaafirun dan Al Ikhlas pada salat Witir? Jawab:

🍀”Ini adalah yang lebih utama, mencontoh Nabi ‎ﷺ; karena dahulu Beliau ‎ﷺ membaca surat Al-A’la , Al-Kaafirun dan Al-Ikhlash pada 3 rakaat dalam salat Witir. Akan tetapi bila seseorang terkadang meninggalkannya pada sebagian waktu untuk mengajari manusia bahwa itu bukanlah suatu kewajiban, maka ini tidak mengapa, seperti apa yang dikatakan sebagian generasi Salaf dalam meninggalkan bacaan surat As-Sajdah dan Al-Insan di sebagian waktu pada salat Subuh di hari Jum’at, agar manusia mengetahui bahwa hal itu bukanlah kewajiban.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:

  1. Apakah hukum seorang imam yang berusaha melembutkan hati-hati manusia dengan terkadang mengubah nada suaranya pada saat bacaan salat tarawih? Jawab:

🌻”Apabila perbuatan ini dalam batasan syariat tanpa berlebihan, maka ini tidak mengapa, tidak berdosa; oleh sebab itu Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi ‎ﷺ : ‘Seandainya aku mengetahui engkau mendengarkan bacaanku akan ku perindah untukmu seindah-indahnya.’

➡Yakni: memperbagus dan menghiasinya, apabila sebagian orang memperbagus suaranya atau membacanya dengan suara yang melembutkan hati-hati, maka aku memandang hal tersebut tidak mengapa. Akan tetapi berlebihan dalam hal ini dalam keadaan tidaklah melewati ayat Al-Qur’an kecuali melakukan seperti ini, aku memandang bahwa ini berlebihan dan tidaklah sepantasnya dilakukan. Wallahua’lam.”

✒(Syaikh Al ‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukum pengulangan imam bacaan pada sebagian ayat rahmat atau azab?
    Jawab:

🌳”Aku tidak mengetahui dalam hal ini adanya larangan untuk menghasung orang agar menadaburi, khusyuk dan mengambil faedah. Sungguh telah diriwayatkan dari Rasulullah ‎ﷺ bahwasanya Beliau mengulang-ulang firman Allah Ta’ala:

{ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۚ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ }.

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 118).

Rasulullah ‎ﷺ banyak mengulanginya. Akan tetapi jika dia memandang pengulangan itu menggelisahkan mereka dan terjadi dengan sebab itu suara gaduh dari tangisan, maka meninggalkan mengulang-ulang ayat lebih utama.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

🍁”Mengulang-ulang ini disyariatkan pada salat sunnah terkhusus salat malam, telah datang hal itu hadits-hadits yang tidak selamat dari pembicaraan akan tetapi dari keseluruhan sanadnya menunjukkan atas disyariatkannya hal itu.

Sungguh telah datang hadits riwayat Ibnu Majah dan dihasankan Syaikh Al-Albany dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi ‎ﷺ salat malam dengan membaca ayat dan mengulang-ulanginya sampai menjelang subuh. Dan asalnya pengulangan bacaan adalah pada salat sendirian, akan tetapi boleh melakukannya bersama jamaah dengan menjaga keadaan jamaah sehingga tidak memberatkan mereka.”

✒(Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam).

Soal:

  1. Apakah hukum mengeraskan suara tangisan? Jawab:

🌼”Tidak sepantasnya; dikarenakan ini akan mengganggu orang dan memberatkan mereka, mengacaukan kepada jamaah dan imam, dan yang selayaknya bagi seorang mukmin menjaga agar suara tangisnya tidak terdengar, berhati-hati dari riya’, karena sesungguhnya setan akan menyeretnya kepada riya’, dan telah dimaklumi, bahwa sebagian orang hal itu bukanlah kemauannya bahkan tangisan mengalahkannya tanpa dia maksudkan, ini dimaafkan apabila bukan karena kehendaknya. Sungguh telah datang dari Nabi ‎ﷺ bahwa bila Beliau ‎ﷺ membaca mendidih dadanya seperti didihan air mendidih karena menangis.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Risalah Ketiga Puluh Enam – Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih

🌹Risalah Ketiga Puluh Enam🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih🌷

Soal:

  1. Kapan waktu yang paling utama untuk salat Tarawih? Jawab:

🍃”Imam Ahmad ditanya: ‘Apakah diakhirkan sholat -yaitu Tarawih- sampai akhir malam? Beliau menjawab: ‘Tidak, sunnahnya kaum Muslimin lebih aku cintai’.”

✒(Masaail Ahmad li Abi Dawud halaman 62).

Soal:

  1. Apakah salat tarawih bagi perempuan di rumahnya lebih utama dari pada di masjid? Jawab:

🌿”Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik baginya dari pada salatnya di masjid, sama saja salat fardhu atau sunnah, tarawih atau selainnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

“Jika keluarnya menimbulkan fitnah dan kerusakan, maka salat di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka; dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ bersabda :

(( لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ )).

“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid, akan tetapi sebenarnya rumah rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.”

📚HRِ. Abu Dawud.

📌Dan juga hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (bersambung kepada Rasulullah ‎ﷺ), Beliau bersabda:

(( صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا )).

“Salat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada salatnya di serambi rumahnya, dan salat seorang wanita di rumah (ruang)nya yang kecil (tempat untuk menaruh barang-barang berharga) lebih utama baginya daripada di rumahnya.”

📚HR. Abu Dawud.

✒(Syaikh Muhammad Farkus Al-Jazairy).

Soal:

  1. Apakah disyariatkan salat Tarawih setelah salat Isya yang dijamak dengan salat Maghrib dikarenakan uzur hujan dan selainnya? Jawab:

🌷”Tidak mengapa salat Tarawih setelah salat Isya yang dijamak dengan salat Maghrib karena uzur syariat yang membolehkan untuk menjamak; karena tidak adanya penghalang dari hal itu.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah hukum perkataan sebagian orang :

(( صلاة القيام أثابكم الله )).

“Mari Salat Tarawih, Semoga Allah memberimu pahala” ?

Jawab:

🍂”Ini termasuk bid’ah yang diada-adakan, Sungguh telah tetap (tsabit) bahwa Nabi ‎ﷺ bersabda:

َ (( مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ )).

“Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah boleh bagi imam melakukan salat Tarawih bersamaan dengan adanya jamaah yang sedang melakukan salat Isya? Jawab:

🌾”Tidak ada larangan imam menegakkan salat Tarawih setelah selesai dari salat Isya dan rawatibnya, sekalipun di sana ada jamaah yang sedang salat Isya’ (jamaah kedua), karena mereka telah luput salat Isya bersama imam.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah boleh bagi mereka melaksanakan salat Isya (karena terlambat jamaah) di belakang imam yang sedang melaksanakan salat Tarawih?

Jawab:

🌺”Boleh bagi mereka salat bersama imam yang sedang melaksanakan salat Tarawih, sedangkan mereka berniat salat Isya’, apabila imam salam, mereka berdiri dan menyempurnakan salat Isya’ atau mereka mendirikan jamaah sendiri di tempat lain yang tidak mengacaukan bagi mereka dan juga imam.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah yang utama kita mendirikan jamaah tersendiri atau kita masuk bersama mereka dalam salat Tarawih dengan niat salat Isya’? Jawab :

🍀”Apabila bersama seorang ini sekumpulan orang, maka yang utama mendirikan salat Isya’ berjamaah tersendiri di samping (atau bagian belakang) masjid agar mendapati salat keseluruhannya dari awal sampai akhirnya secara berjamaah.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Aku salat Tarawih dengan niat salat Isya’, ketika imam salam setelah 2 rakaat aku tidak salam bersama mereka, bahkan aku sempurnakan bersamanya 2 rakaat berikutnya dari salat Tarawih maka keseluruhan salatku menjadi 4 rekaat, bagaimana hukumnya? Jawab :

🌻”Waktu itu seharusnya bagimu ketika imam salam, engkau berdiri dan menyempurnakan salatmu, jika imam salam dari selesai dua rakaat engkau berdiri dan menyempurnakan salatmu sendirian, seperti seorang yang sholat bersama seorang lainnya luput darinya sebagian rakaatnya, maka dia berdiri setelah salam imamnya dan menyempurnakannya.

➡ Adapun keadaan ini yang imammu salam kemudian engkau berdiri mengikutinya pada 2 rakaat berikutnya sampai engkau sempurnakan 4 rakaat, maka pada sah tidaknya salat tersebut perlu ditinjau ulang, dan yang mendekati kebenaran -wallahua’lam- bahwa salatmu telah sah, tidak mengulang salat atasmu, ini adalah pendapat yang dekat (kepada kebenaran) in sya Allah, akan tetapi di waktu yang akan datang apabila terjadi seperti ini, maka untuk kehati-hatiannya bagimu, jika imam telah salam kamu sempurnakan sendiri rakaat yang terluput darimu.”

✒(Imam Ibnu Baz).

Soal:

  1. Seorang menyangka bahwasanya mereka (jamaah) salat Isya’, maka dia takbir dengan niat salat Isya’ kemudian tampak jelas baginya bahwa mereka salat Tarawih? Jawab:

🍁”Apabila seorang masuk Makkah (berihram) bersama manusia pada malam-malam Ramadan, dia menyangka mereka menunaikan salat wajib, kemudian tampak jelas baginya bahwa mereka salat Tarawih, maka dia meneruskan salat bersama mereka, apabila imam telah salam pada salat Tarawih, dia berdiri dan menyempurnakan salatnya dan ini tidak mengapa; dikarenakan menurut pendapat yang sahih (kuat) bolehnya salat fardhu di belakang orang yang menunaikan salat Sunnah.”

✒(Imam Ibnu Baz).

Soal:

  1. Apakah bagi musafir boleh melaksanakan salat Tarawih atau tidak? Jawab: 🌳Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah:

“Rasulullah ‎ﷺ tidak pernah meninggalkan salat malam, baik mukim (hadir) atau safar, dahulu Beliau ‎ﷺ jika rasa kantuk mengalahkannya atau sakit, Beliau ‎ﷺ salat di sebagian waktu siang hari 12 rakaat “

➡ Dengan itu telah jelas bahwa jika mereka salat malam dalam safarnya, sungguh telah mencocoki sunnah.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Risalah Ketiga Puluh Lima – Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih

🌹Risalah Ketiga Puluh Lima🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih🌷

Soal:

  1. Apa yang dimaksud dengan salat malam Ramadan yang dianjurkan yang disebutkan dalam hadits-hadits? Jawab :

🍁”Yang dimaksud salat malam Ramadan adalah salat tarawih.”

✒(Al-Imam An-Nawawi).

Soal:

  1. Mengapa Rasulullah ‎ﷺ meninggalkan salat tarawih berjamaah setelah Beliau ‎ﷺ salat tarawih berjamaah selama 3 malam? Jawab :

🌻”Para Ulama telah sepakat atas disyariatkannya salat Tarawih, sungguh Rasulullah ‎ﷺ telah melaksanakannya kemudian meninggalkannya setelah itu dan menjelaskan mengapa Beliau ‎ﷺ meninggalkannya; sebagaimana hadits’Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ :(( قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ )).

Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha berkata; “Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan salat di masjid, maka orang-oang mengikuti salat Beliau. Pada malam berikutnya Beliau kembali melaksanakan salat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, Beliau bersabda: “Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar salat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Mengapa Umar radhiyallahu ‘anhu kembali mengumpulkan manusia untuk salat tarawih berjamaah? Jawab:

🍀”Karena kekhawatiran yang disebutkan -akan diwajibkan salat tarawih kepada ummat- tidak akan terjadi setelah wafatnya Nabi ‎ﷺ; oleh sebab itu Umar bin al-Khaththab mengumpulkan mereka dengan Ubay bin Ka’b sebagai Imam.”

✒(Imam Ibnu Hajar).

🌿”Karena Rasulullah ‎ﷺ memberikan alasan ditinggalkannya salat tarawih berjamaah dengan sabda Beliau ‎ﷺ:

(( خَشِيتُ أَن تُفرَضَ عَلَيكُم )).

“Aku khawatir akan diwajibkan atas kalian.”

Tidak diragukan bahwa kekhawatiran ini sudah hilang dengan wafatnya ‎ﷺ setelah Allah Ta’ala menyempurnakan syariat-Nya. Dan dengan itu hilanglah alasan yaitu meninggalkan jamaah, dan kembalilah hukum yang terdahulu yaitu disyariatkannya “berjamaah”, dan karena ini Umar bin Al-Khaththab menghidupkannya kembali.”

✒(Syaikh Al-Albany).

Soal:

  1. Apa makna perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ” نعمت البدعة هذه “.

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini?”

Jawab:

🌺”Yang dimaksud Umar radhiyallahu ‘anhu adalah bid’ah secara bahasa, dikarenakan keberadaannya di zaman Nabi ‎ﷺ tidak pernah ditunaikan berjamaah secara terus menerus, hanya saja Rasulullah ‎ﷺ salat berjamaah 3 atau 4 malam saja, kemudian Rasulullah ‎ﷺ meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan atas mereka, ketika Rasulullah ‎ﷺ wafat, maka telah aman dari diwajibkannya atas mereka (dikarenakan hukumnya adalah sunnah). Dan Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan dengannya (berjamaah).”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apa sikap Ahlul Bait terhadap salat Tarawih? Jawab:

🌾”Imam Rujukan Yahya bin Hamzah Az-Zaidy dalam
kitabnya “Al Intishoru ‘ala ‘Ulamail Amshor, ( Kitabu Shalatil Jum’ah ) menetapkan akan bolehnya salat tarawih berjamaah dari 3 sisi, dan dia berkata:
“Diriwayatkan bahwa Ali melihat lampu di masjid, kemudian beliau berkata: ‘Semoga Allah Ta’ala merahmati Umar, dia telah menerangi masjid kita, semoga Allah Ta’ala menerangi kuburnya, kemudian dia berkata: ‘Maka benarlah apa yang dilakukan Umar.’ Dan ini menunjukkan bolehnya salat tarawih berjamaah.”

➡ Dan dalam Musnad Zaid bin ‘Ali pada pembahasan (Kitab Salat : Bab Salat malam di bulan Ramadan) : “Dari Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau memerintahkan orang yang mengimami manusia salat tarawih di bulan Ramadan agar menunaikan 20 rakaat dan salam tiap selesai rakaat, dan beristirahat sebentar di antara setiap dua rakaat, dan beristirahat sebentar di antara setiap 4 rakaat, lalu orang yang mempunyai keperluan kembali dan berwudhu, dan salat Witir bersama mereka di akhir malam sebelum pulang.”

Soal:

  1. Mengapa dinamakan salat tarawih? Jawab:

🌾”Karena pada awal mereka melaksanakan salat berjamaah, mereka istirahat antara dua salam.”

✒(Imam Ibnu Hajar).

Soal:

  1. Apakah disunnahkan istirahat pada salat tarawih? Jawab:

🍂”Para Ahli Fikih telah sepakat atas disyariatkannya istirahat setiap setelah 4 rakaat karena itu warisan generasi Salaf. Sungguh dahulu mereka memanjangkan berdiri pada salat tarawih, imam dan makmum duduk istirahat setiap selesai 4 rakaat.”

✒(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah).

➡ Dan bukanlah istirahat setiap selesai 4 rakaat syarat salat tarawih, khususnya apabila salat tarawih pendek, tidak ada kesulitan bagi makmum. Sungguh Imam Ahmad ditanya tentang kaum yang salat di bulan Ramadan 5 kali salam dalam shalat tarawih tidak beristirahat di antaranya, maka Beliau menjawab: ‘Tidak mengapa’.”

Soal:

  1. Apakah yang utama salat tarawih berjamaah di masjid atau di rumah? Jawab:

🌿”Salatnya bersama imam di masjid lebih utama, mengikuti Nabi ‎ﷺ dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dan sabda Nabi ‎ﷺ kepada Sahabatnya ketika salat tarawih berjamaah di sebagian malam sampai 3 malam, berkata sebagian dari mereka kepada Rasulullah ‎ﷺ: ‘Kalau kami salat nawafil di sisa malam kami?
Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة )).

“Barang siapa salat bersama imam hingga selesai, ditulis untuknya salat semalam suntuk.”

📚HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan dengan sanad hasan dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu’anhu.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apa yang dikecualikan dari keumuman hadits; (( أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ )).

Seutama-utama salat seseorang adalah di rumahnya selain salat wajib.”

Jawab:

🌳”Para Ulama telah mengecualikan dari salat Sunnah yang disyariatkan berjamaah selain salat wajib misalnya: salat Gerhana, salat Idul Fitri dan Idul Adha, salat Istisqa’ (minta hujan) dan selainnya, dan seperti salat Tarawih juga, sesungguhnya juga disyariatkan berjamaah di bulan Ramadan, dan keberadaan seseorang datang dan salat Tarawih berjamaah lebih utama dari keberadaannya salat di rumahnya.”

✒(Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad).

Soal:

  1. Manakah yang lebih utama salat Tarawih berjamaah atau salat di akhir malam secara sendirian? Jawab:

“Apabila perkara ini berputar antara salat di awal malam berjamaah dan antara salat di akhir malam sendirian, maka salat berjamaah lebih utama, karena dihitung baginya salat semalam suntuk, atas dasar itu perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum berjalan pada masa pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu.”

✒(Syaikh Al-Albany).

Risalah Ketiga Puluh Tiga – Bab penjelasan seputar Iktikaf

🌹Risalah Ketiga Puluh Tiga🌹

🌷Bab penjelasan seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Barang siapa yang beriktikaf 10 hari terakhir Ramadan, maka kapan dia keluar dari tempat Iktikafnya ? Jawab: 🍁Berkata Ahli Fikih :

“Berakhirnya Iktikaf dengan tenggelamnya matahari dari akhir hari iktikaf; dikarenakan malam itu untuk hari setelahnya, bukan untuk hari sebelumnya, begitu juga dalam Iktikaf 10 hari terakhir Ramadan berakhir Iktikaf dengan tenggelamnya matahari di malam Hari Raya.”

🌻Berkata Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah:

“Malam Idul Fitri bukanlah waktu Iktikaf, tidak pula puasa dan bukan termasuk bulan Ramadan, dan tidak ada dalil sahih dari Nabi ‎ﷺ di dalamnya (bahwa malam idul fitri untuk iktikaf dan berpuasa) .”

🌷Bab seputar penjelasan tentang sepuluh akhir bulan Ramadan dan malam Lailatul Qadar🌷

Soal:

  1. Apa kedudukan 10 hari terakhir Ramadan? Jawab:

🍀”10 hari terakhir Ramadan adalah paling utamanya bulan Ramadan, dan karena ini dahulu Nabi ‎ﷺ mengkhususkannya dengan iktikaf untuk mencari Lailatul Qadar, Lailatul Qadar ada di antara 10 hari terakhir Ramadan yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya:

{ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ }.

“Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr 97: Ayat 3).

Dan dahulu Nabi ‎ﷺ mengkhususkan malam-malam ini dengan qiyamul lail seluruhnya, maka sepantasnya bagi manusia pada malam-malam ini bersemangat atas salat malam dan memanjangkan bacaan, rukuk, sujud, dan apabila salat bersama Imam maka salatlah sampai selesai karena Nabi ‎ﷺ bersabda:

(( مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة )).

“Barang siapa salat bersama imam hingga selesai, ditulis untuknya salat semalam suntuk.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apa yang disunnahkan pada 10 malam terakhir Ramadan? Jawab:

🌺”Yang disunnahkan adalah menghidupkan 10 malam terakhir Ramadan dengan ibadah dan semangat untuk menetapi salat malam, memperbanyak doa, memerintahkan keluarganya untuk memperbanyak ketaatan di dalamnya; sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ .

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan ber’ibadah dan membangunkan keluarga Beliau.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Mengapa dinamakan Lailatul Qadar? Jawab:

🌾”Dinamakan dengan itu karena kemuliannya yang agung; yaitu memiliki keutamaan yang agung;
dikarenakan Al-Qur’an turun di dalamya, dan karena barang siapa menghidupkannya dengan ibadah, maka dia akan mendapatkan kemuliaan yang besar atau karena ditulis takdir di malam itu apa yang akan terjadi di tahun itu dari keadaan-keadaan dan perkara-perkara.

Allah Ta’ala berfirman:

{فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ }.

“Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh Hikmah.” (QS. Ad-Dukhan 44: Ayat 4)

Soal:

  1. Kapan Lailatul Qadar akan terjadi? Jawab:

🍂”Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan dan khususnya 10 hari terakhir, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ }

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185).

Dan sungguh Allah Ta’ala berfirman:

{ إنَّاۤ أَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ }.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.” (QS. Al-Qadr 97: Ayat 1)

Dan menjadi jelas dari kedua ayat ini bahwa sesungguhnya Al-Qur’an pada Lailatul Qadar pada bulan Ramadan.

➡ Adapun keberadaannya khusus di 10 akhir Ramadan, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ )).

“Carilah -Lailatul Qadar- pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadan.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Apakah maksud firman Allah Ta’ala: { فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ }.  “Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh Hikmah.” (QS. Ad-Dukhan 44: Ayat 4) Jawab:

🌷”Itu adalah penulisan takdir yang terjadi selama setahun secara terperinci dari takdir yang berada di Lauh Al-Mahfuz. Ini termasuk sebagian ayat Allah dan hikmah-Nya Subhanahu wa Ta’ala.”

✒(Imam Ibnu Baz).

Soal:

  1. Apa yang dimaksud firman Allah Ta’ala: { لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ }.

    “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.”(QS. Al-Qadr 97: Ayat 3) Jawab: 🌿Berkata Kebanyakan Ahli Tafsir :

“Amalan yang dilakukan di Lailatul Qadar itu lebih baik daripada amalan yang dilakukan pada 1000 bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya.”

🍃Imam Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata:

“Lailatul Qadar lebih baik 1000 bulan dari bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya.”

✒(Imam Al-Qurthubiy).

Soal:

  1. Mengapa Rasulullah ‎ﷺ beriktikaf di 10 hari terakhir secara khusus? Jawab:

🌳”Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Said Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ‎ﷺ beriktikaf pada 10 hari awal Ramadan kemudian 10 hari tengah Ramadan kemudian Beliau ‎ﷺ bersabda:

(( إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ )).

“Aku telah Iktikaf sejak sepuluh awal bulan untuk mendapatkan Lailatul Qadar, kemudian sepuluh yang pertengahan. Kemudian dikatakan kepadaku bahwa Lailatul Qadar itu terdapat pada sepuluh akhir Ramadan. Karena itu, siapa dari kalian yang suka melakukan Iktikaf, maka silahkan beriktikaf.” Maka para sahabat pun ikut Iktikaf bersama-sama dengan beliau.

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Apakah hikmah diangkatnya ilmu tentang Lailatul Qadar dan tidak diketahui kepastian waktunya ? Jawab:

🌼”Hikmahnya sebagaimana disebutkan pada hadits Ubadah bin Shamit:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ:(( خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ )).

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk memberitahukan kami tentang Lailatul Qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari Kaum Muslimin saling berbantahan. Akhirnya Beliau berkata: “Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar namun fulan dan fulan saling berbantahan sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui). Namun semoga kejadian ini menjadi kebaikan buat kalian.”

📚HR. Bukhori.

🌰Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah:

“Sisi kebaikannya dari sisi ketidak tahuannya secara pasti adalah mendorong untuk melaksanakan salat malam sebulan penuh atau 10 hari terakhir, berbeda apabila telah mengetahuinya di malam tertentu.”

🌴Beliau juga berkata:

“Agar bersungguh-sungguh dalam mencarinya, berbeda bila telah ditentukan malamnya, sungguh akan dicukupkan atas waktu itu saja, sebagaimana waktu ijabah (dikabulkan doa) di hari Jum’at.”

Soal:

  1. Apakah Lailatul Qadar masih ada di setiap tahun atau sudah di angkat secara keseluruhan? Jawab:

“Para Ulama sejak zaman dulu dan zaman sekarang telah sepakat bahwa Lailatul Qadar tetap ada sampai hari kiamat dikarenakan hadits-hadits shorih (jelas) dan sahih dalam perintah untuk mencari Lailatul Qadar.”

✒(Imam Al-Qodhiy Iyadh).

Faedah sabda Rasulullah ‎ﷺ

(( فرفعت )).

“Kemudian diangkat”, diangkat ilmu tentang kepastian Lailatul Qadar kepada kalian, bukan diangkat secara keseluruhan, karena Beliau ‎ﷺ kemudian bersabda setelah itu :

(( فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَة )).

“Maka carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh dan kelima (pada sepuluh malam akhir dari Ramadan).”

Risalah Ketiga Puluh Empat – Bab seputar penjelasan tentang sepuluh akhir bulan Ramadan dan Lailatul Qadar

🌹Risalah Ketiga Puluh Empat🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang sepuluh akhir bulan Ramadan dan Lailatul Qadar🌷

Soal:

  1. Apa yang paling utama di Lailatul Qadar memperbanyak salat atau doa? Jawab :

🌳”Dahulu Nabi ﷺ melakukan salat malam pada malam-malam Ramadan, membaca Al-Qur’an secara tartil, tidaklah lewat ayat tentang rahmat kecuali memintanya, dan tidaklah melewati ayat tentang azab kecuali berlindung darinya, maka Beliau ‎ﷺ mengumpulkan antara salat, Al-Qur’an, berdoa dan tafakkur. Dan ini adalah amalan paling utama dan sempurnanya di malam 10 yang terakhir dan malam-malam selainnya, Wallahua’lam.”

✒(Imam Ibnu Rajab).

Soal:

  1. Apakah Lailatul Qadar khusus malam-malam ganjil di 10 hari terakhir dan bukan malam genapnya? Jawab:

🌼”Lailatul Qadar ada pada malam ganjil, akan tetapi ganjil ditinjau dari yang telah lewat, maka dicari pada malam 21, 23, 25, 27, 29, dan bisa jadi ditinjau dari yang masih tersisa, sebagaimana sabda Rasulullah ‎ﷺ:

(( لتاسعة تبقى, لسابعة تبقى, لخامسة تبقى, لثالثة تبقى )).

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadan, pada sisa malam kesembilan, pada yang ketujuh, pada yang kelima, pada yang ketiga.”

➡ Atas dasar ini apabila Ramadan berjumlah 30 hari, maka itu (Lailatul Qadar) terjadi pada malam-malam genap, tanggal 22 adalah sisa malam 9 hari, malam 24 adalah sisa malam 7 hari, dan beginilah Abu said Al Khudriy menafsirkannya dalam hadits sahih.

➡ Kalau satu bulan berjumlah 29 hari, maka penanggalan ditinjau apa yang tersisa seperti penanggalan yang telah telah lewat.

➡ Apabila perkaranya begini, maka sepantasnya seorang mukmin bersemangat pada 10 hari terakhir secara keseluruhannya; sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ :

(( تَحَرُّوهَا فِي العَشرِ الأَوَاخِرِ )).

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadan.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah).

Soal:

  1. Manakah malam-malam yang paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar? Jawab: 🌱Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah membawakan 40 pendapat mengenai penentuan Lailatul Qadar kemudian berkata:

“Yang paling kuatnya di malam-malam ganjil 10 hari Ramadan, dan Lailatul Qadar berpindah-pindah sebagaimana dipahami dari hadits-hadits pada bab ini.”

🌰Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah:

“Hanya saja Lailatul Qadar berpindah-pindah pada 10 hari terakhir dari Ramadan, dengan ini digabungkan hadits-hadits sahih yang berbeda-beda mengenai Lailatul Qadar.”

Soal:

  1. Di malam manakah paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar? Jawab:

🌴Menurut Jumhur Ulama yang paling diharapkan adalah malam ke 27 Ramadan; sebagaimana hadits Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu :

(( أنه كان يَحْلَفَ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُيل لهُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا )).

“Dahulu Ubay bin Ka’b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadar adalah pada malam kedua puluh tujuh. Maka dikatakan padanya “Dengan landasan apa, engkau mengatakan hal itu ya Aba Mundzir?” Ia menjawab, “Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat.”

📚HR. Muslim.

📌Dan juga hadits Ibnu’Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan sanad sahih:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلِيلٌ يَشُقُّ عَلَيَّ الْقِيَامُ فَأْمُرْنِي بِلَيْلَةٍ لَعَلَّ اللَّهَ يُوَفِّقُنِي فِيهَا لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ:(( عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ )).

Dari Abdullah bin ‘Abbas; bahwa seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata; “Wahai Nabi Allah, aku adalah orang yang sudah tua renta yang sakit-sakitan, sulit bagiku untuk berdiri, maka perintahkan kepadaku dengan satu malam semoga Allah menetapkanku bertemu dengan malam Lailatul Qadar.” Beliau bersabda: ” (Beribadahlah) pada malam ketujuh (27).”

📚HR. Ahmad.

➡ Dan dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ mengkhususkan malam ini dengan salat malam semalam suntuk. Dalilnya hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata:

قُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لَيْلَةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ لَا نُدْرِكَ الْفَلَاحَ وَكَانُوا يُسَمُّونَهُ السُّحُورَ .

‘Kami bangun untuk salat malam bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan pada malam dua puluh tiga sampai sepertiga malam pertama. Kemudian kami bangun (salat malam) lagi bersama beliau pada malam kedua puluh lima sampai pertengahan malam. Kemudian kami bangun (salat malam) lagi bersama beliau pada malam kedua puluh tujuh hingga kami mengira bahwa kami tidak mendapatkan Al Falah, dahulu mereka menamakan As-Suhur (makan sahur).”

📚HR. Ahmad.

Soal:

  1. Apakah hukum mengkhususkan malam ke 27 dengan menunaikan Umroh? Jawab:

🌺”Pengkhususan malam ke 27 dengan Umroh adalah termasuk bid’ah; dikarenakan Rasulullah ‎ﷺ tidak mengkhususkannya dengan Umroh dalam perbuatan Beliau ‎ﷺ. Dan tidak mengkhususkannya yakni malam ke 27 dalam sabda Beliau ‎ﷺ, Beliau‎ﷺ tidak menunaikan Umroh pada malam ke 27 Ramadan, bersamaan Beliau‎ﷺ pada tahun Fathul Makkah di malam 27 Ramadan Beliau ‎ﷺ berada di Makkah, dan tidak menunaikan Umroh dan tidak bersabda kepada kaum Muslimin: ‘Carilah Lailatul Qadar malam 27 Ramadan dengan Umroh’, hanya saja Beliau ﷺ memerintahkan mencari Lailatul Qadar malam 27 Ramadan dengan salat malam bukan dengan umroh.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah Lailatul Qadar tetap di suatu malam atau berpindah-pindah? Jawab:

🌾”Menurut pendapat yang kuat bahwa Lailatul Qadar berpindah-pindah, bukan menetap pada satu malam tertentu dan tidak mungkin di malam yang lainnya, di suatu tahun pada suatu malam dan di tahun berikutnya pada malam yang lain, untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang datang mengenai Lailatul Qadar ini;

➡ Telah datang hadits-hadits bahwa Lailatul Qadar pada malam 27 , dan hadits-hadits yang lain pada malam ke 21, hadits-hadits yang lain lagi pada malam 23. Dan juga menggabungkan antara atsar (keterangan) para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam penentuan Lailatul Qadar, dan semua dari mereka menghukumi tergantung tahun yang mereka melihat terjadinya Lailatul Qadar. Wallahua’lam.”

Soal:

  1. Apakah tanda Lailatul Qadar itu? Jawab:

🍂”Lailatul Qadar memiliki tanda-tanda, yang paling benar dan masyhurnya adalah hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ memberitahu sahabat bahwa matahari terbit dengan pancaran cahaya tidak menyengat.

▶ Dan telah tetap (tsabit) dengan seluruh sanad-sanadnya dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi ‎ﷺ bersabda:

(( ِإِنَّهَا لَيلَةٌ طلقة بلجة, لا حَارَة وَ لَا بَارِدَة )).

“Sesungguhnya Lailatul Qadar adalah malam yang tenang dan bercahaya, tidak panas dan tidak pula dingin.”

Soal:

  1. Apakah mungkin Lailatul Qadar tersingkap bagi sebagian orang? Jawab:

🌷”Tanda Lailatul Qadar yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b dari Nabi ‎ﷺ adalah termasuk paling masyhurnya tanda dalam hadits, boleh jadi Allah Ta’ala menyingkapnya bagi sebagian orang dalam mimpi atau terjaga; misalnya dia melihat cahaya atau bermimpi ada orang berkata kepadanya ini adalah Lailatul Qadar, atau Allah membuka hatinya dari tanda-tanda yang memperjelas dengannya perkara ini. Wallahu Ta’ala a’lam.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah).

➡ Ketahuilah bahwa Lailatul Qadar, dilihat oleh orang yang Allah Ta’ala kehendaki dari kalangan Bani Adam setiap tahun di setiap Ramadan; sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits dan keterangan dari orang-orang shalih tentang Lailatul Qadar dan penglihatan mereka terhadapnya, banyak tidak terbatas.”

✒(Al-Imam An-Nawawi).

Soal:

  1. Jika diketahui Lailatul Qadar dari tanda-tandanya, apakah disempurnakan menghidupkan malam (salat Malam)nya pada sisa malam-malam 10 hari terakhir? Jawab:

🌿Dikatakan: ‘sepertinya tidak mendapatkan pahala dan ganjaran kecuali jika menggabungkan pada sisa malam 10 hari terakhir, maka jadilah sisa malam 10 hari terakhir seakan-akan salat rawatib bagi salat fardhu, dan karena sebab ini Nabi ‎ﷺ mengetahui dengan tanda-tandanya tanggal 21 dan bersamaan dengan hal itu Beliau ‎ﷺ menyempurnakan Iktikaf dan menghidupkan malamnya ‎ﷺ.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🌷Bab seputar penjelasan tentang salat Tarawih

Soal:

  1. Apakah hukum salat Tarawih? Jawab :

🍃”Salat tarawih adalah sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah ‎ﷺ, dan perbuatan Sahabat yang masyhur, kaum Muslimin sejak dulu dan sekarang menerimanya (melaksanakannya), dan orang yang pertama kali mengumpulkan mereka setelah wafatnya Rasulullah ‎ﷺ adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau adalah Khalifah yang terbimbing, tidak ada yang mengingkari tarawih kecuali pelaku bid’ah.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Risalah Ketiga Puluh Dua – Bab penjelasan seputar Iktikaf

🌹Risalah Ketiga Puluh Dua🌹

🌷Bab penjelasan seputar Iktikaf 🌷

Soal:

  1. Apakah disyariatkan bagi orang yang salat bahwa setiap dia masuk masjid walaupun dalam waktu yang singkat atau menunaikan salat fardhu meniatkan Iktikaf? Jawab:

🍁”Ulama telah menyebutkan bahwa hal ini tidak disyariatkan dan tidak dilakukan oleh generasi Salaf, bahwa seorang yang masuk masjid karena menunaikan salat Dhuhur, kemudian dia berkata: ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid’, sedangkan dia tidaklah tinggal di masjid kecuali 5 atau 10 menit saja, engkau dapati papan di sebagian masjid orang Sufi : ‘Aku berniat Iktikaf selama tinggalku di masjid.”
Ini tidak ada dalil padanya, Syaikhul Islam rahimahullah telah memperingatkan tentang perkara ini.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Barang siapa yang berjimak sedangkan dia Iktikaf, apakah batal Iktikafnya? Jawab :

🌻”Barang siapa yang berjimak dengan istrinya dalam keadaan dia ingat, sengaja dan tahu haramnya hal tersebut, maka batal Iktikafnya menurut Ijmak (kesepakatan) Ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

➡ Adapun jika dia lupa dan ini sangat jarang terjadi, maka tidak batal Iktikafnya karena hal itu, dikarenakan Allah Ta’ala tidak menghukum apa yang kita lupa, hanya saja Allah Ta’ala menghukum dengan apa yang hati-hati kita menyengajanya dan karena kealpaan adalah uzur, tidak membatalkan salat dan puasa, begitu pula dengan Iktikaf.”

Soal:

  1. Apakah bercumbu tanpa jimak bagi orang yang Iktikaf membatalkan Iktikafnya? Jawab:

🍀”Dimakruhkan bercumbu dengan syahwat bagi orang yang beriktikaf, secara khusus bahwa Iktikaf tidak batal kecuali dengan jimak, itu adalah yang dimaksudkan dalam firman Allah Ta’ala:

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.  

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

➡ Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Beliau berkata pada firman Allah Ta’ala:

 {وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka”

Yaitu bercumbu, menyentuh dan bersenggama semuanya adalah nama-nama jimak, akan tetapi Allah Ta’ala menamakan apa yang Dia kehendaki dengan sesuai yang Dia kehendaki (yaitu bercumbu kadang tidak bermakna jimak).”

🌺Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Bercumbu yang dilarang Allah Ta’ala darinya bagi orang yang beriktikaf adalah jimak, tidak khilaf padanya menurut yang aku ketahui.”

Soal

  1. Hukum bagi orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya ? Jawab :

🌾”Apabila seorang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian badannya, maka tidak membatalkan Iktikafnya dan tidak berakibat sesuatupun baginya menurut kesepakatan Ulama; sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau dahulu menyisir rambut Nabi ‎ﷺ , sedangkan beliau haid dan Nabi ‎ﷺ beriktikaf di masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di kamarnya dan Rasulullah ‎ﷺ menjulurkan kepalanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

➡ Adapun apabila mengeluarkan seluruh badannya tanpa uzur, maka batal Iktikafnya menurut kesepakatan Ulama; dikarenakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(( وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا )).

“Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beriktikaf.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

➡ Dan juga karena meniadakan dari rukun Iktikaf.”

✒(Fiqhul Iktikaf).

Soal:

  1. Apakah hukum keluarnya seorang yang beriktikaf untuk membangunkan keluarganya agar makan sahur? Jawab:

🌾”Tidak mengapa keluarnya dia di waktu sahur untuk membangunkan keluarganya menyiapkan makan sahur di waktu sahur dan supaya mereka siap untuk melaksanakan salat subuh jika mereka tidak mampu bangun dari tidur dengan sendirinya dan tidak didapati orang yang membangunkan mereka, akan tetapi dia tidak tinggal di rumah setelah membangunkan keluarganya dan kembali ke tempat Iktikafnya di masjid.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Bolehkah bagi orang yang beriktikaf melakukan jual beli ? Jawab:

🍂”Apabila jual beli di dalam masjid, maka itu hukumnya haram,
➡ Apabila dia keluar ke suatu tempat di luar masjid karena keperluan dan dia dapati di jalan sesuatu yang dijual, maka tidak ada penghalang baginya dari hal tersebut.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah dalil atas bolehnya mensyaratkan sesuatu dalam Iktikaf dan apa faedahnya? Jawab:

🌷”Dalilnya adalah hadits Dhuba’ah bintu az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ berkata padanya ketika dia muhrim (dalam keadaan memakai baju ihram):

(( حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي )).

“Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. Bacalah: ‘ALLAHUMMA MAHALLII HAITSU HABASTANII (Ya Allah, tempat (berhenti dari ibadah haji atau umrah)ku adalah di tempat Engkau menahanku).’

➡ Sisi pendalilan: bahwasanya Ihram mengharuskan ibadah dengan adanya permulaan, dan boleh menyelisihinya dengan syarat, maka iktikaf lebih utama. Dan karena Iktikaf tidak dikhususkan dengan kemampuan, maka apabila dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan dia bernazar melakukan apa yang dia mampu.

➡ Dan faedah dari pensyaratan sesuatu dalam Iktikaf tidak batal Iktikafnya dengan keluarnya karena syaratnya tersebut.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan keluar karena tujuan urusan dunia atau urusan akhirat bagi orang yang beriktikaf? Jawab:

🌿”Boleh bagi orang yang beriktikaf mensyaratkan sesuatu yang di dalamnya bentuk ibadah seperti menjenguk orang sakit, atau menghadiri jenazah atau sesuatu yang dia membutuhkannya dari urusan dunia, seperti keluar untuk menghadap penguasa atau menagih hutang, karena jika dia mensyaratkan keluar, maka seakan-akan syarat Iktikaf ini untuk suatu waktu bukan waktu yang lain, dan itu boleh menurut kesepakatan Ulama. Dan yang paling utama adalah tanpa adanya syarat suatu apapun dari urusan dunia, sebagai jalan keluar dari khilaf sampai seorang yang beriktikaf menfokuskan diri untuk beribadah.”

Soal:

  1. Apakah hukum pensyaratan sesuatu yang membatalkan (merusak) Iktikaf? Jawab:

🍃”Apabila mensyaratkan jimak dalam Iktikafnya, menyaksikan acara hiburan atau tamasya, atau jual beli untuk perdagangan atau mencari uang dengan membuat suatu produk di masjid, maka semua ini tidak boleh; dikarenakan Allah berfirman :

 { وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }. 

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187).

Maka syarat-syarat tersebut adalah syarat untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf menyibukkan diri dengan ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain seperti belajar mengajar? Jawab:

🌼”Apabila diwajibkan atasnya atau tidak membutuhkan waktu kecuali waktu yang singkat, maka sesungguhnya disyariatkan baginya seperti yang lainnya; seperti mengeluarkan zakat, memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar (amar makruf dan nahi mungkar), menjawab salam, berfatwa dan memberi petunjuk kepada kebaikan dan semisalnya.

➡ Apabila tidak diwajibkan atasnya dan membutuhkan waktu yang lama seperti mengajar dan belajar dan semisalnya dari ibadah yang mendatangkan manfaat bagi orang lain, maka Ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya bagi orang yang beriktikaf.

➡ Yang benar adalah boleh baginya tetapi tidak memperbanyaknya, di mana itu menyibukkannya dari ibadahnya dia dan menghadapnya kepada Allah Ta’ala dengan zikir, merendahkan diri, berdoa dan semisalnya.”

Risalah Ketiga Puluh Satu – Bab penjelasan seputar iktikaf

🌹Risalah Ketiga Puluh Satu🌹

🌷Bab penjelasan seputar iktikaf🌷

Soal:

  1. Apakah hukum keluarnya seorang yang beriktikaf karena adanya keperluan? Jawab :

🍃”Ulama telah sepakat bahwasanya boleh bagi orang yang beriktikaf untuk keluar karena adanya keperluan; misalnya buang air kecil dan buang air besar; sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

(( وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا )).

“Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beriktikaf”.

Dan perkataan beliau radhiyallahu ‘anha: “karena hajat manusia”
adalah kiasan dari buang hajat yaitu buang air kecil dan buang air besar.

🌿Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah :

“Ulama telah sepakat tentang bolehnya bagi seorang yang Iktikaf keluar untuk suatu keperluan yang tidak boleh tidak dia harus keluar semisal buang hajat dan mandi junub.”

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf keluar untuk makan dan minum bersamaan memungkinkan baginya untuk mendatangkannya ke masjid? Jawab:

🌷”Tidak boleh keluar dari masjid untuk makan dan minum jika memungkinkan baginya untuk mendatangkannya ke dalam masjid; dikarenakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan bahwa Rasulullah ‎ﷺ hanya keluar untuk hajat manusia, dan ini adalah kiasan dari buang air kecil dan buang air besar, dipahami darinya bahwa Beliau ‎ﷺ tidak keluar ke rumahnya selain dari dua hajat ini, tidak keluar untuk makan atau minum.
Dan karena iktikaf adalah menetapi (berdiam diri) di masjid untuk beribadah, maka tidak boleh keluar darinya kecuali kepada sesuatu yang mengharuskannya, makan dan minum memungkinkan didapatkan di masjid,
➡ Apabila dia tidak mendapati orang yang memberinya (mengantarkannya) makan dan minum, maka boleh baginya keluar.”

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang iktikaf keluar untuk menghadiri jenazah atau menjenguk orang sakit ? Jawab:

🍂”Tidak boleh bagi seorang yang sedang beriktikaf keluar untuk menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah, apabila dia melakukan hal tersebut maka batal Iktikafnya, sama saja dia beriktikaf wajib (nazar) atau sunnah, karena Iktikaf adalah berdiam diri untuk menetapi masjid, dan keluar tanpa keperluan yang mendesak meniadakan perkara ini; sebab mengunjungi orang yang sakit dan menghadiri jenazah bukanlah fardhu ‘ain yang sampai mewajibkan orang yang beriktikaf keluar untuk menunaikannya.

➡ Sungguh telah datang dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau berkata kepada orang yang beriktikaf: ‘Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak pula menghadiri jenazah, tidak menjimaki perempuan, tidak pula mencumbuinya dan tidak boleh keluar kecuali kepada sesuatu yang mengharuskannya untuk keluar darinya’.”

Soal:

  1. Bolehkah bagi seorang yang beriktikaf keluar ke halaman masjid untuk duduk-duduk dan semisalnya? Jawab:

🌾”Tidak diragukan bahwa halaman yang di pagari adalah termasuk masjid, adapun halaman yang tidak terpagari tetapi dijadikan untuk keperluan masjid jika diperlukan untuk tambahan, maka ini bukanlah termasuk masjid, dan dibangun atas dasar tersebut, bolehnya seorang yang beriktikaf keluar ke halaman, jika dia keluar ke halaman yang termasuk masjid, maka ini tidaklah mengapa baginya. Dan apabila keluar ke halaman yang bukan termasuk masjid, maka tidak boleh. Dan dari hal itu, di Masjidil Haram tempat Sa’i bukan dari masjid. Maka apabila orang yang beriktikaf keluar ke tempat Sa’i, itu tidak boleh baginya. Dan terlebih lagi apabila keluar ke halaman yang mengelilingi dari belakang tempat Sa’i, ini bukanlah termasuk masjid. Maka barang siapa yang keluar kepadanya dalam Iktikafnya tidak boleh baginya keluar. Dan batal Iktikafnya kecuali apabila memiliki uzur.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🍂”Jika halaman terlingkupi pagar masjid bersambung dengannya, dan ditegakkan syiar (tanda) Masjid: seperti salat Tahiyyatul Masjid dan kesucian tempat, tidak boleh jual beli, tidak boleh mengumumkan barang yang hilang dan ditegakkan sholat padanya, maka boleh Iktikaf di dalamnya, keluar kepadanya, akan tetapi bila luput sesuatu dari hal tersebut; maka tidak boleh dihukumi sebagai masjid, tidak boleh bagi seorang yang beriktikaf keluar kepadanya melainkan darurat.”

✒(Syaikh Taufiq Al-Ba’dany).

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang beriktikaf keluar ke kamar-kamar yang mengikuti masjid atau Iktikaf di dalamnya?
    Jawab :

🌺”Kamar-kamar yang berada di dalam masjid dan pintu-pintunya yang masuk menuju ke dalam masjid dihukumi masjid, baginya hukum masjid,
➡ Adapun apabila di luar masjid, maka bukan masjid walaupun pintu-pintunya dalam masjid.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

“Dan yang benar bahwasanya apabila kamar itu masuk ke dalam masjid, maka itu bagian dari masjid walaupun untuk menyimpan kunci atau lampu.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf di atap masjid? Jawab:

🌻”Kebanyakan Ulama berpendapat akan sahnya Iktikaf di dalamnya dan naiknya seorang yang berkiktikaf ke tempat itu; dikarenakan firman Allah Ta’ala:

 {وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

Dan atap masjid termasuk dari masjid.”

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang yang beriktikaf berpindah Iktikafnya ke masjid lain? Jawab:

🌻”Jika dia keluar kepada sesuatu yang mengharuskannya kemudian dia masuk masjid lain dan dia menyempurnakan Iktikafnya di situ, hal ini boleh, apabila masjid yang ke dua lebih dekat kepada tempat keperluannya dibandingkan masjid yang pertama.

➡ Dan apabila lebih jauh atau memulai keluar kepadanya (masjid kedua) tanpa uzur, maka batal Iktikafnya; dikarenakan dia meninggalkan tempat berdiamnya yang yang lebih berhak (tempat pertama), diputuskan dengannya dalam furu’ (cabang) madzhab (Al-Hanabilah) dan selainnya.”

✒(Imam Al-Mardawiy).

Soal:

  1. Apakah puasa syarat sahnya Iktikaf? Jawab :

🍁”Boleh Iktikaf walaupun tidak berpuasa, sama saja iktikaf wajib atau sunnah; dikarenakan Allah Ta’ala menyebutkan Iktikaf, Allah berfirman :

{ وَأَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

Dan juga firman Allah Ta’ala:

{ أََنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ }.

“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang yang iktikaf,”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 125)

Tidak dikhususkan untuk orang yang berpuasa bukan selainnya (yang tidak berpuasa).

Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu bernazar beriktikaf semalam di Masjidil Haram, kemudian Nabi ‎ﷺ bersabda kepadanya:

(( أَوفِ بِنَذرِكَ )).

“Tunaikanlah nazarmu.”

🌳Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah:

“Dijadikan dalil atas hal ini bolehnya beriktikaf tanpa puasa karena malam bukan waktunya puasa, kalau puasa adalah syarat, maka tentu Rasulullah ‎ﷺ memerintahkan Umar ‎radhiyallahu ‘anhu dengannya.”

Soal

  1. Apa batasan banyak dan sedikitnya waktu Iktikaf? Jawab:

🌱”Adapun tentang banyaknya waktunya, Ulama telah sepakat bahwasanya tidak ada batasan banyaknya, adapun paling sedikitnya, maka cukup baginya apa yang dinamakan dengannya berdiam diri atau menetapi walaupun sebagian dari hari dengan niat Iktikaf; dikarenakan tidak adanya dalil disyaratkannya Iktikaf harus sehari penuh.

➡ Yang paling utama adalah tidak kurang Iktikafnya dari sehari karena tidak dinukilkan dari Nabi ‎ﷺ atau dari satu orang sahabat radhiyallahu ‘anhum, Iktikaf kurang dari sehari. Sungguh, dahulu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum duduk di masjid karena menunggu salat dan mendengarkan khutbah atau ilmu dan semisalnya, tidak dinyatakan dari mereka bahwa maksudnya adalah iktikaf. Dan dalam hal ini juga untuk keluar dari khilaf Ulama.”

Soal:

  1. Aku tidak memiliki kemampuan untuk Iktikaf 10 hari terakhir Ramadan, apakah boleh bagiku beriktikaf di sebagian harinya? Jawab :

🌼”Memungkinkan bagi seseorang untuk beriktikaf sehari atau dua hari akan tetapi yang paling utama dan sempurna dia beriktikaf 10 hari yang terakhir semuanya.”

✒(Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad).

“Iktikaf yang sunnah adalah 10 hari semuanya; dikarenakan perbuatan Rasulullah ‎ﷺ. Dan barang siapa yang beriktikaf semalam saja dari 10 hari, maka di sini kami katakan: ‘Diberi pahala atasnya, akan tetapi belum melaksanakan sunnahnya’.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Risalah Kedua Puluh Sembilan – Bab Penjelasan Seputar Iktikaf

🌹Risalah Kedua Puluh Sembilan🌹

🌷Bab Penjelasan Seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Apa yang sepantasnya bagi seorang yang beriktikaf? Jawab : 🍁”Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap orang yang beriktikaf, maka hendaklah tidak saling mencela, berkata-kata kotor, menyuruh keluarganya dengan suatu kebutuhan (yang menyibukkan diri dengan urusan dunia), dan jangan duduk di sisi mereka (supaya lebih fokus dalam beribadah).” 🌿Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Wajib bagi orang yang beriktikaf menjaga lisannya, tidak menaunginya melainkan atap masjid, dan tidak pantas baginya jika beriktikaf menjahit atau bekerja.”

🍃Syaikhul Islam rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya sepantasnya bagi orang yang beriktikaf sibuk dengan ibadah saja antara dia dan Allah Ta’ala. Misalnya: membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, istighfar, salat, tafakkur dan semisalnya.”

🌳Al-Imam Al-Albany rahimahullah berkata:

“Apa yang dilakukan orang-orang bodoh menjadikan orang-orang yang iktikaf tempat berkumpul dan datangnya para pengunjung, menjadikan tempat menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, maka ini suatu warna (yang keliru), dan Iktikaf sesuai bimbingan Nabi adalah warna yang lain. Dan Allah lah Pemberi taufik.”

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf? Jawab:

🌻”Ibnu Abdil Bar dan Imam An-Nawawi rahimahumullah menukilkan ijmak (kesepakatan Ulama) bahwasanya Iktikaf adalah sunnah bukanlah suatu kewajiban.

➡ Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ‘Terus-menerusnya Rasulullah ‎ﷺ atas Iktikaf menunjukkan bahwa iktikaf sunnah dari sunnah-sunnah muakkad (yang ditekankan),
➡ Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Beliau berkata: ‘Sungguh mengherankan kaum Muslimin telah meninggalkan Iktikaf sedangkan Nabi ‎ﷺ tidak pernah meninggalkannya sejak tinggal di Madinah sampai Allah Ta’ala mewafatkan Beliau ‎ﷺ.”

✒(Fathul Baari).

Soal:

  1. Kapan iktikaf itu menjadi wajib? Jawab:

🌿Iktikaf itu menjadi wajib jika seorang itu mewajibkan bagi dirinya dengan bernazar, sebagaimana hadits Umar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فقَالَ لي رسول الله ‎ﷺ:(( أَوْفِ بِنَذْرِكَ )).

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu Beliau mengatakan; ‘Aku bernazar semasa jahiliyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Penuhi nazarmu!.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍀Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Ulama sepakat bahwa Iktikaf sunnah tidak wajib ‘ain bagi manusia, kecuali apabila seseorang mewajibkannya bagi dirinya dengan bernazar akan beriktikaf.”

Soal:

  1. Apa saja rukun Iktikaf itu? Jawab :

🌾”Iktikaf mempunyai dua rukun:

1). Berdiam diri di masjid; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

🍂Berkata Imam Al-Qurthubiy:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak dilakukan kecuali di masjid.”

2). Berniat iktikaf; sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ :

(( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ )).

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.”

🌷Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak sah melainkan dengan berniat.”

Soal:

  1. Apakah syarat-syarat Iktikaf ? Jawab:

🌳”Iktikaf mempunyai syarat-syarat yaitu :

1). Islam; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ إلَّاۤ أَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهٖ }

“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 54)

2). Berakal
3). Tamyiz (bisa membedakan).

Dalil syarat 2 dan 3 adalah:

عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ )).

Dari Abu Adh-Dhuha dari Ali radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal.”

4). Disyaratkan juga:

➡ Sahnya Iktikaf menurut kebanyakan Ulama adalah suci dari hadats besar seperti: haid, nifas dan junub,

➡ Adapun hadats kecil, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah menukilkan kesepakatan kaum muslimin: ‘Tidak disyaratkannya.’

5). Bagi hamba sahaya adalah ijin dari Tuannya, ijin suami bagi seorang istri;
sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta ijin dari Nabi ‎ﷺ untuk beriktikaf dan Beliau ‎ﷺ mengijinkannya.

➡ Dan dalam masalah seorang budak,
Imam Ibnu Hubairah berkata rahimahullah: ‘Ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidak boleh beriktikaf melainkan dengan ijin tuannya’.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan ijin kedua orang tua dalam Iktikaf? Jawab:

🌱”Seorang pemuda belia tidak beriktikaf melainkan dengan ijin keluarganya, adapun pemuda dewasa, di sana ada kaidah Ulama : ‘Bahwasanya sesuatu yang bermanfaat bagi seorang anak dan tidak ada kemudaratan atas orang tuanya, maka tidak mengapa dia tidak meminta ijin.’

➡ Akan tetapi jika kedua orang tua atau salah satu darinya mendapatkan madarat disebabkan terputus hubungannya dengan anak karena berada di masjid untuk Iktikaf, maka harus meminta ijin,
➡ Akan tetapi seandainya jika orang tua tidak membutuhkannya untuk berada di sisi mereka karena adanya beberapa anak yang lain disisi mereka, maka tidak ada alasan bagi orang tua (untuk menghalanginya), di sini kita melaksanakan apa yang tetap (tsabit) dari kaum Salaf dan atsar mereka.

➡ Datang seorang laki-laki kepada Imam Ahmad rahimahullah dan berkata kepada Beliau : ‘Aku ingin menuntut ilmu dan ibuku melarangku?’, Kemudian Beliau menjawab : ‘Tuntutlah ilmu dan melobilah dengan baik’ .”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah sunnah-sunnah Iktikaf? Jawab:

🍀”Sunnah-sunnah iktikaf adalah menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, salat dan semisalnya, tidak menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang tidak bermanfaat di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang beriktikaf, engkau dapati dia berdiam diri di masjid kemudian orang mendatanginya setiap saat, berbincang-bincang dengannya, memutus iktikafnya tanpa faedah.

➡ Adapun terkadang berbicara dengan sebagian orang atau keluarga, maka ini tidak mengapa, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari perbuatan Rasulullah ‎ﷺ ketika Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mendatanginya dan mengajak bicara sementara waktu kemudian kembali ke rumahnya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukumnya wajib menyempurnakan Iktikaf karena telah memulainya? Dan barang siapa yang memutus Iktikafnya secara sengaja, apakah wajib atasnya mengqodho (menggantinya)? Jawab:

🌰”Tidak wajib menyempurnakan Iktikaf kecuali jika dia bernazar untuk beriktikaf, dan tidak berdosa orang yang menyengaja memutusnya; dikarenakan tidak wajib memulai Iktikaf, maka tidak wajib pula menyempurnakan Iktikaf yang dia telah memulainya dan selanjutnya tidak wajib mengqodhonya.”

➡ Adapun Rasulullah ‎ﷺ mengqodho Iktikaf yang Beliau telah memulainya kemudian memutusnya, ini adalah hukumnya sunnah saja; dikarenakan Beliau ‎ﷺ jika melakukan sesuatu amalan, Beliau tetapkan.

➡ Sedangkan istri-istri Beliau ‎ﷺ meninggalkan Iktikaf juga setelah memulainya, tidak dinukilkan dari para istri Beliau ‎ﷺ bahwasanya mereka beriktikaf bersama Beliau ‎ﷺ pada bulan Syawal mengqodho Iktikaf.

➡ Adapun firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبْطِلُوْۤا أَعْمَالَـكُمْ }.

“Janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad 47:

Maka larangan tergantung yang dilarang darinya, maka apabila amalan itu wajib, maka tidak boleh membatalkannya tanpa uzur, apabila amalan itu sunnah, maka makruh membatalkannya tanpa uzur.”

Soal:

  1. Apa disyariatkan mengqodho bagi orang yang sibuk untuk menyempurnakannya? Jawab:

🌴”Ya, disyariatkan; sebagaimana telah tetap dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa Nabi ‎ﷺ ketika meninggalkan Iktikaf pada sepuluh terakhir Ramadan, Beliau ‎ﷺ beriktikaf 10 hari dibulan Syawwal sebagai gantinya.”

🍂Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Pada Iktikafnya ‎ﷺ di bulan Syawal adalah dalil bahwasanya amalan sunnah yang biasa dilakukan jika luput, maka disunnahkan diqodho.”

Soal:

  1. Kapan waktu Iktikaf? Jawab:

🌷”Iktikaf boleh kapan saja dan yang utama pada 10 terakhir Ramadan karena mencontoh Nabi ‎ﷺ. Sungguh telah tetap dari Beliau ‎ﷺ bahwa Beliau ‎ﷺ beriktikaf pada bulan Syawal di beberapa tahun.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).
[13:25, 3/5/2022] Ustad Abu Zur’ah Atau Wiwid: 🌹Risalah Ketiga Puluh🌹

🌷Bab penjelasan seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Di manakah laki-laki dan perempuan beriktikaf? Jawab:

🍁”Tidak ada perbedaan pendapat di antara Ulama bahwasanya tidak sah iktikaf seseorang melainkan di masjid; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

{ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Ketika kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187).

Maka Iktikaf dikhususkan di masjid (1) dan Ulama menyertakan perempuan dalam hal itu, karena keumuman ayat. Maka ayat itu mencakup laki-laki dan perempuan, dan karena para istri Nabi ‎ﷺ menginginkan beriktikaf bersama Beliau ﷺ di masjid, seandainya Iktikaf di selain masjid adalah utama sungguh Rasulullah‎ ﷺ akan menunjukkan kepada mereka hal tersebut.”


(1).

🌾Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

“Sisi pendalilan dari ayat bahwa seandainya sah- yaitu: Iktikaf- pada selain masjid, maka tidak dikhususkan pengharaman jimak dengannya; dikarenakan jimak meniadakan (maksud) iktikaf menurut kesepakatan para Ulama, maka diketahui dari penyebutan masjid-masjid bahwa Iktikaf tidaklah dilakukan melainkan di dalamnya.”

📚 (Fathul Bariy 4/281-282).

Soal:

  1. Apa yang wajib bagi wanita yang ingin beriktikaf? Jawab:

🌺”Disyaratkan baginya ijin dari suaminya,

🍀Ibnul Mundzir dan selainnya berkata:

“Apabila seorang wanita beriktikaf tanpa ijin suami, maka dia (suami) berhak mengeluarkannya, dan apabila dengan ijin suami maka baginya ruju’ (kembali untuk mengubah ijinnya) kemudian dia melarangnya.”

📚 (Fathul Baariy).

🌻Disyaratkan sahnya iktikaf seorang wanita yaitu aman dari fitnah, dan tidak disyaratkan sahya iktikaf seorang wanita di masjid yang didirikan salat Jum’at dan tidak pula salat Jamaah karena keduanya tidak diwajibkan bagi wanita, disebutkan hal itu oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.”

Soal:

  1. Manakah masjid yang paling utama untuk beriktikaf di dalamnya ? Jawab:

🍁”Masjid yang paling utama untuk beriktikaf adalah Masjidil Haram, kemudian Masjidin Nabawiy selanjutnya Masjidil Aqsho; dikarenakan masjid-masjid tersebut paling utamanya masjid secara mutlak, kemudian masjid besar yang banyak jamaahnya di salat Jum’at dan salat berjamaah; karena salatnya seorang dengan seorang laki-laki lebih menyucikan diri daripada salat sendirian dan salatnya seorang laki-laki bersama dua laki-laki lainnya lebih menyucikan diri dari pada salatnya dia bersama seorang laki-laki, maka bersemangat mencari masjid besar supaya terwujud maksud iktikaf dan hikmahnya, yaitu menghadap kepada Allah Ta’ala dan menyibukkan diri dengan berzikir. Wallahua’lam.”

✒(Fiqhul I’tikaf).

Soal:

  1. Apakah syarat masjid yang dapat dilaksanakan iktikaf di dalamnya? Jawab:

🌳”Disyaratkan bagi masjid yang akan dilaksanakan iktikaf di dalamnya adalah masjid yang ditegakkan salat Jamaah, hal itu karena wajibnya hadir salat jamaah di masjid yang didirikan jamaah menurut pendapat yang rajih (kuat) dari kalangan Ulama.”

🌼Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

“Itu adalah pendapat kebanyakan Taabi’in, dan tidak dinukilkan dari Sahabat adanya khilaf melainkan khilaf pendapat yang mengkhususkan iktikaf di 3 masjid (Masjidil Haram, Masjidin Nabawiy, Masjidil Aqsho) atau Masjid Nabi saja.”

➡ Tidak disyaratkan di masjid yang ditegakkan salat Jum’at karena keluarnya dari masjid jarang sekali melainkan disebabkan harus keluar darinya (untuk menunaikan salat Jum’at), maka tidaklah ini meniadakan makna Iktikaf itu sendiri.”

Soal:

  1. Bagaimana dengan hadits : (( لَا اِعتِكَافَ إِلاَّ فِي المَسَاجِدِ الثَلَاثَة )). “Tidak ada Iktikaf kecuali di 3 (masjid Masjidil Haram, Masjidin Nabawiy, Masjidil Aqsho).”_ Jawab:

🌱”Haditsnya lemah, apabila hadits ini tsabit (bisa dijadikan dalil), maka peniadaan di sini adalah peniadaan kesempurnaan, dan sesungguhnya ibadah di 3 masjid lebih sempurna dibandingkan masjid selainnya, kita tidak mempersempit atas manusia sesuatupun yang Allah Ta’ala melapangkan atas mereka.”

✒(Syaikh Muqbil Al-Wadi’y).

Soal:

  1. Bolehkah melakukan safar untuk beriktikaf ke selain 3 masjid tersebut? Jawab:

🌰”Apabila tujuan safar hanya ingin iktikaf saja, maka termasuk dalam larangan hadits yang telah tetap (tsabit).

(( لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ )).

“Tidak boleh bepergian (dengan ibadah) melainkan ke tiga masjid.”

➡ Jika safar (melakukan perjalanan) berniat menuntut ilmu, kemudian apabila berniat dengan safarnya itu beriktikaf ketika di tempat saudara-saudaranya dan dia menuntut ilmu, maka safar dengan niat menuntut ilmu tidak mengapa dengannya. Sebab Nabi ‎ﷺ bersabda:

(( مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ )).

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Kapan seorang yang ingin beriktikaf masuk tempat iktikafnya dan kapan keluar darinya ? Jawab:

🌴”Apabila dia ingin beriktikaf sebulan atau kurang atau lebih dari itu karena nazar (wajib) atau sunnah, maka dia masuk ke tempat Iktikafnya dari malam awal hari tersebut,
➡ Apabila ingin beriktikaf 10 hari terakhir Ramadan, maka dia masuk malam 21 Ramadan menurut pendapat Jumhur Ulama; dikarenakan malam mendahului siang, maka malam Jum’at adalah sebelum hari Jum’at.

➡ Dan yang menunjukkan atas masuknya malam awal hari iktikaf di dalamnya adalah bahwa yang paling agungnya maksud iktikaf adalah mencari Lailatul Qadar, dan malam itu adalah termasuk yang diharapkan di malam-malam ganjil di 10 hari terakhir, yang pertamanya adalah malam 21, maka mustahil Rasulullah ‎ﷺ meninggalkan iktikaf itu, hanya saja iktikaf 10 hari itu agar mendapatkan keutamaan malam-malam ini dan mencari Lailatul Qadar.”

Soal:

  1. Bagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: إن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ.

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak Iktikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat I’tikafnya.”
(HR. Bukhori dan Muslim) ?

Jawab:

🍃”Hadits ini memiliki 2 kemungkinan:
1). Bahwa Beliau ‎ﷺ masuk dari awal malam , hanya saja Beliau ‎ﷺ menyendiri dalam tempat yang disediakan baginya untuk Iktikaf setelah salat Subuh.
2). Beliau ‎ﷺ masuk tempat iktikafnya pada pagi hari ke 20 sebelum malam 21; maka ini adalah tambahan dalam kebajikan dan kebaikan serta semangat untuk mendapatkan Lailatul Qadar.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan bagi orang yang beriktikaf baginya kamar atau tenda yang menutupinya? Jawab:

🌿”Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan:

(( أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ )).

“Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu, apabila selesai dari shalat Subuh, Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.”_

➡ Di dalamnya terdapat dalil bagi orang yang beriktikaf disyariatkan baginya untuk mendirikan kemah jika memungkinkan itu tanpa mempersempit orang-orang yang salat.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Manakah yang lebih utama berzikir setelah salat di masjid atau di tempat Iktikaf? Jawab:

🌷Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa

أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ.

“Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu apabila selesai dari salat Subuh Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍂Berkata Ibnul Mulaqqin rahimahullah:

“Di dalam hadits bahwa sesuai Sunnah jika seorang beriktikaf di masjid dan salat shubuh di suatu tempat di masjid selain tempat dia beriktikaf, dia tidak duduk di tempat salatnya sampai terbit matahari bahkan dia kembali setelah selesai dari salatnya ke tempat dia beriktikaf; dikarenakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(( أن النبي ‎ﷺ كَانَ َإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ )).

Bahwa Nabi ‎ﷺ dahulu apabila selesai dari salat Subuh Beliau masuk ke tempat khusus iktikaf Beliau.

Risalah Kedua Puluh Sembilan – Bab Penjelasan Seputar Iktikaf

🌹Risalah Kedua Puluh Sembilan🌹

🌷Bab Penjelasan Seputar Iktikaf🌷

Soal:

  1. Apa yang sepantasnya bagi seorang yang beriktikaf? Jawab : 🍁”Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap orang yang beriktikaf, maka hendaklah tidak saling mencela, berkata-kata kotor, menyuruh keluarganya dengan suatu kebutuhan (yang menyibukkan diri dengan urusan dunia), dan jangan duduk di sisi mereka (supaya lebih fokus dalam beribadah).” 🌿Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Wajib bagi orang yang beriktikaf menjaga lisannya, tidak menaunginya melainkan atap masjid, dan tidak pantas baginya jika beriktikaf menjahit atau bekerja.”

🍃Syaikhul Islam rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya sepantasnya bagi orang yang beriktikaf sibuk dengan ibadah saja antara dia dan Allah Ta’ala. Misalnya: membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, istighfar, salat, tafakkur dan semisalnya.”

🌳Al-Imam Al-Albany rahimahullah berkata:

“Apa yang dilakukan orang-orang bodoh menjadikan orang-orang yang iktikaf tempat berkumpul dan datangnya para pengunjung, menjadikan tempat menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, maka ini suatu warna (yang keliru), dan Iktikaf sesuai bimbingan Nabi adalah warna yang lain. Dan Allah lah Pemberi taufik.”

Soal:

  1. Apakah hukum Iktikaf? Jawab:

🌻”Ibnu Abdil Bar dan Imam An-Nawawi rahimahumullah menukilkan ijmak (kesepakatan Ulama) bahwasanya Iktikaf adalah sunnah bukanlah suatu kewajiban.

➡ Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ‘Terus-menerusnya Rasulullah ‎ﷺ atas Iktikaf menunjukkan bahwa iktikaf sunnah dari sunnah-sunnah muakkad (yang ditekankan),
➡ Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Beliau berkata: ‘Sungguh mengherankan kaum Muslimin telah meninggalkan Iktikaf sedangkan Nabi ‎ﷺ tidak pernah meninggalkannya sejak tinggal di Madinah sampai Allah Ta’ala mewafatkan Beliau ‎ﷺ.”

✒(Fathul Baari).

Soal:

  1. Kapan iktikaf itu menjadi wajib? Jawab:

🌿Iktikaf itu menjadi wajib jika seorang itu mewajibkan bagi dirinya dengan bernazar, sebagaimana hadits Umar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فقَالَ لي رسول الله ‎ﷺ:(( أَوْفِ بِنَذْرِكَ )).

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu Beliau mengatakan; ‘Aku bernazar semasa jahiliyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Penuhi nazarmu!.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍀Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah:

“Ulama sepakat bahwa Iktikaf sunnah tidak wajib ‘ain bagi manusia, kecuali apabila seseorang mewajibkannya bagi dirinya dengan bernazar akan beriktikaf.”

Soal:

  1. Apa saja rukun Iktikaf itu? Jawab :

🌾”Iktikaf mempunyai dua rukun:

1). Berdiam diri di masjid; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ }.

“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)

🍂Berkata Imam Al-Qurthubiy:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak dilakukan kecuali di masjid.”

2). Berniat iktikaf; sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ :

(( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ )).

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.”

🌷Berkata Ibnu Hubairoh rahimahullah:

“Ulama telah sepakat bahwasanya Iktikaf tidak sah melainkan dengan berniat.”

Soal:

  1. Apakah syarat-syarat Iktikaf ? Jawab:

🌳”Iktikaf mempunyai syarat-syarat yaitu :

1). Islam; sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ إلَّاۤ أَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهٖ }

“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 54)

2). Berakal
3). Tamyiz (bisa membedakan).

Dalil syarat 2 dan 3 adalah:

عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ )).

Dari Abu Adh-Dhuha dari Ali radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal.”

4). Disyaratkan juga:

➡ Sahnya Iktikaf menurut kebanyakan Ulama adalah suci dari hadats besar seperti: haid, nifas dan junub,

➡ Adapun hadats kecil, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah menukilkan kesepakatan kaum muslimin: ‘Tidak disyaratkannya.’

5). Bagi hamba sahaya adalah ijin dari Tuannya, ijin suami bagi seorang istri;
sebagaimana dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta ijin dari Nabi ‎ﷺ untuk beriktikaf dan Beliau ‎ﷺ mengijinkannya.

➡ Dan dalam masalah seorang budak,
Imam Ibnu Hubairah berkata rahimahullah: ‘Ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidak boleh beriktikaf melainkan dengan ijin tuannya’.”

Soal:

  1. Apakah disyaratkan ijin kedua orang tua dalam Iktikaf? Jawab:

🌱”Seorang pemuda belia tidak beriktikaf melainkan dengan ijin keluarganya, adapun pemuda dewasa, di sana ada kaidah Ulama : ‘Bahwasanya sesuatu yang bermanfaat bagi seorang anak dan tidak ada kemudaratan atas orang tuanya, maka tidak mengapa dia tidak meminta ijin.’

➡ Akan tetapi jika kedua orang tua atau salah satu darinya mendapatkan madarat disebabkan terputus hubungannya dengan anak karena berada di masjid untuk Iktikaf, maka harus meminta ijin,
➡ Akan tetapi seandainya jika orang tua tidak membutuhkannya untuk berada di sisi mereka karena adanya beberapa anak yang lain disisi mereka, maka tidak ada alasan bagi orang tua (untuk menghalanginya), di sini kita melaksanakan apa yang tetap (tsabit) dari kaum Salaf dan atsar mereka.

➡ Datang seorang laki-laki kepada Imam Ahmad rahimahullah dan berkata kepada Beliau : ‘Aku ingin menuntut ilmu dan ibuku melarangku?’, Kemudian Beliau menjawab : ‘Tuntutlah ilmu dan melobilah dengan baik’ .”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:

  1. Apakah sunnah-sunnah Iktikaf? Jawab:

🍀”Sunnah-sunnah iktikaf adalah menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, salat dan semisalnya, tidak menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang tidak bermanfaat di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang beriktikaf, engkau dapati dia berdiam diri di masjid kemudian orang mendatanginya setiap saat, berbincang-bincang dengannya, memutus iktikafnya tanpa faedah.

➡ Adapun terkadang berbicara dengan sebagian orang atau keluarga, maka ini tidak mengapa, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari perbuatan Rasulullah ‎ﷺ ketika Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mendatanginya dan mengajak bicara sementara waktu kemudian kembali ke rumahnya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukumnya wajib menyempurnakan Iktikaf karena telah memulainya? Dan barang siapa yang memutus Iktikafnya secara sengaja, apakah wajib atasnya mengqodho (menggantinya)? Jawab:

🌰”Tidak wajib menyempurnakan Iktikaf kecuali jika dia bernazar untuk beriktikaf, dan tidak berdosa orang yang menyengaja memutusnya; dikarenakan tidak wajib memulai Iktikaf, maka tidak wajib pula menyempurnakan Iktikaf yang dia telah memulainya dan selanjutnya tidak wajib mengqodhonya.”

➡ Adapun Rasulullah ‎ﷺ mengqodho Iktikaf yang Beliau telah memulainya kemudian memutusnya, ini adalah hukumnya sunnah saja; dikarenakan Beliau ‎ﷺ jika melakukan sesuatu amalan, Beliau tetapkan.

➡ Sedangkan istri-istri Beliau ‎ﷺ meninggalkan Iktikaf juga setelah memulainya, tidak dinukilkan dari para istri Beliau ‎ﷺ bahwasanya mereka beriktikaf bersama Beliau ‎ﷺ pada bulan Syawal mengqodho Iktikaf.

➡ Adapun firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبْطِلُوْۤا أَعْمَالَـكُمْ }.

“Janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad 47:

Maka larangan tergantung yang dilarang darinya, maka apabila amalan itu wajib, maka tidak boleh membatalkannya tanpa uzur, apabila amalan itu sunnah, maka makruh membatalkannya tanpa uzur.”

Soal:

  1. Apa disyariatkan mengqodho bagi orang yang sibuk untuk menyempurnakannya? Jawab:

🌴”Ya, disyariatkan; sebagaimana telah tetap dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim bahwa Nabi ‎ﷺ ketika meninggalkan Iktikaf pada sepuluh terakhir Ramadan, Beliau ‎ﷺ beriktikaf 10 hari dibulan Syawwal sebagai gantinya.”

🍂Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Pada Iktikafnya ‎ﷺ di bulan Syawal adalah dalil bahwasanya amalan sunnah yang biasa dilakukan jika luput, maka disunnahkan diqodho.”

Soal:

  1. Kapan waktu Iktikaf? Jawab:

🌷”Iktikaf boleh kapan saja dan yang utama pada 10 terakhir Ramadan karena mencontoh Nabi ‎ﷺ. Sungguh telah tetap dari Beliau ‎ﷺ bahwa Beliau ‎ﷺ beriktikaf pada bulan Syawal di beberapa tahun.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Risalah Kedua Puluh Enam – Bab bimbingan tentang hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa

🌹Risalah Kedua Puluh Enam🌹

🌷Bab bimbingan tentang hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa🌷

Soal:

  1. Bagaimana menyikapi dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau tidak melihat Rasulullah ‎ﷺ berpuasa 1-9 hari awal bulan Dzulhijjah? Jawab:

🌳”Berkata Ulama bahwa puasa 1-9 Dzulhijjah tidaklah makruh berpuasa di dalamnya, bahkan itu adalah sunnah yang ditekankan, terlebih lagi tanggal 9 Dzulhijjah, ia adalah hari ‘Arafah, maka ditafsirkan perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha : ‘Tidak berpuasa pada 1-9 Dzulhijjah, Beliau ‎ﷺ tidak berpuasa karena sesuatu hal; sakit atau safar atau selain keduanya, atau Beliau ‎radhiyallahu ‘anha tidak melihat Rasulullah ‎ﷺ berpuasa, tidaklah mengharuskan bahwa Rasulullah ‎ﷺ tidak berpuasa dalam perkara ini.”

✒(Imam An-Nawawi).

🌼”Tidak bertentangan atas hal itu, apa yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan selainnya dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :(( مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا الْعَشْرَ قَطُّ )).

Dari Aisyah, ia berkata; “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di awal bulan Dzulhijjah sama sekali.”

📚HR. Abu Dawud.

Karena ada kemungkinan Beliau ‎ﷺ meninggalkan melakukan itu sedangkan Beliau ‎ﷺ menyukainya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga.”

✒(Imam Ibnu Hajar).

Soal:

  1. Apakah hukum puasa di bulan Al-Muharram? Jawab:

🌱”Disunnahkan puasa di bulan Al-Muharram, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

َ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ المكتوبة صَلَاةُ اللَّيْل )).ِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seutama-utama puasa setelah Ramadan ialah puasa di bulan Al-Muharram, dan seutama-utama salat sesudah salat Fardhu, ialah shalat malam.”

📚HR. Muslim 1163.

Soal:

  1. Apakah benar dikatakan bulan Muharram dengan tanpa alif dan lam? Jawab:

🌰”Sepantasnya mendapatkan perhatian terhadap kesalahan yang tersebar dalam memutlakkan “Muharram” tanpa alif dan lam; karena yang benar pemutlakannya sebagai ma’rifah, agar mengatakan “Al-Muharram ” karena hadits-hadits Nabi menyebutkannya sebagai ma’rifah (dengan alif dan lam), karena bangsa Arab tidaklah menyebutkan bulan ini dalam perkataan mereka dan syair-syairnya melainkan dengan alif dan lam, dan tidak pada bulan selainnya, maka pemutlakan nama adalah sama’i (diambil dari pembicaraan orang Arab) bukan qiyas (diqiyaskan dengan kaidah bahasa Arab).”

✒(Syaikh Muhammad Farkus Al-Jazairiy).

Soal:

  1. Apakah hukum puasa tanggal 10 Al-Muharram? Jawab:

🌼”Disunnahkan puasa tanggal 10 Al-Muharram; sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(( مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟)). فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(( فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ )).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kota Madinah, lalu didapati bahwa orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka: “Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?” mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.” kemudian Beliau pun berpuasa dan memerintahkan para Sahabat berpuasa di hari itu.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Manakah yang lebih utama puasa tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 dari bulan Al-Muharram? Jawab:

🌺”Yang lebih utama adalah puasa tanggal 9 dan 10; sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(( لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ )).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya aku benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan (Al-Muharram).”

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: ‘Belum sampai datang tahun berikutnya Rasulullah ‎ﷺ sudah wafat.’

Akan tetapi bila dia luput dari puasa tanggal 9 Al-Muharram, maka baginya berpuasa tanggal 11 Al-Muharram karena tujuannya adalah menyelisihi yahudi, dan ini terwujud dengan puasa di tanggal 11, walaupun yang utama adalah tanggal 9 karena yang disebutkan dalam hadits tanggal tersebut.”

Soal:

  1. Apabila manusia tidak bisa membedakan tanggal 10 Al-Muharram, apa yang harus mereka lakukan? Jawab:

🌷”Apabila manusia tersamarkan ketika rukyatul hilal, berkata Imam Ahmad dan yang selainnya: ‘Berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, sebagai bentuk kehati-hatian.”

Soal

  1. Apakah hukum puasa Senin dan Kamis? Jawab:

🍂”Disunnahkan berpuasa Senin dan Kamis; sebagaimana hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dahulu Rasulullah ‎ﷺ berpuasa Senin dan Kamis seraya bersabda:

(( ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ ))

“Itulah dua hari yang amalan seorang hamba ditampakkan di hadapan Rabb semesta alam, aku senang ketika amalanku ditampakkan, diriku sedang berpuasa.”

📚HR. Ahmad dan selainnya.

📌Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ‎ﷺ ditanya tentang puasa hari Senin. Kemudian Beliau ‎ﷺ menjawab :

َ (( ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ ))

“Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.”

📚HR. Muslim.

Soal:

  1. Apakah hukum berpuasa 3 hari di setiap bulan? Jawab:

🌾”Disunnahkan puasa 3 hari disetiap bulan; dikarenakan hadits Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ bersabda kepadanya :

(( صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صَوْمُ الدَّهْرِ )).

“Berpuasalah tiga hari pada setiap bulan, sebab itulah sebenarnya puasa sepanjang masa.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

📌Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi wasiat kepadaku agar aku berpuasa tiga hari dalam setiap bulan.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Manakah waktu yang afdol puasa 3 hari di setiap bulan? Jawab:

🍃”Waktu yang paling utama untuk puasa 3 hari setiap bulan adalah hari-hari ayyamul biidh yaitu tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya; sebagaimana hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ.

Dari Abu Dzarr dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar berpuasa tiga hari Bidh dalam sebulan; yaitu -tanggal- tiga belas, empat belas dan lima belas.”

📚HR. Ahmad dan selainnya.

Dan seandainya dia berpuasa di selain tanggal ini, maka sudah tertunaikan sebagaimana hadits Mu’adzah Al-Adawiyah:

عن مُعَاذَةُ الْعَدَوِيَّةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِي مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ.

Dari Mu’adzah Al-‘Adawiyah bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Apakah setiap bulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa tiga hari? Ia menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya lagi kepadanya: Pada tanggal berapa beliau berpuasa? Ia menjawab: ‘Beliau tidak terlalu mempersoalkan pada hari apa saja beliau berpuasa’.”

📚HR. Muslim no.1160.

Soal:

  1. Hukum puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud)? Jawab:

🌿”Tidak ada perbedaan pendapat antara Ahli Fikih bahwa itu sunnah, dan ini adalah paling utamanya puasa secara mutlak; sebagaimana dalilnya adalah hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ‎ﷺ bersabda kepadanya:

(( فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَام ِ)) فَقُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(( لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ )).

“Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasanya Nabi Allah Dawud ‘alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama.”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.