Risalah Kedua Puluh Tujuh – Bab bimbingan tentang hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa

🌹Risalah Kedua Puluh Tujuh🌹

🌷Bab bimbingan tentang hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa🌷

Soal:

  1. Apakah hukum puasa di bulan Sya’ban? Jawab:

🍁”Hukumnya adalah sunnah; sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ .

“Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadan dan aku tidak pernah melihat Beliau paling banyak melaksanakan puasa (sunnaj) kecuali di bulan Sya’ban.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Dalam riwayat Muslim:

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا.

“Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.”

Dan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُ بِهِ رَمَضَانَm

“Bahwa beliau tidak pernah berpuasa satu bulan penuh kecuali Sya’ban yang beliau sambung dengan Ramadhan.”

➡ Maksud dari perkataan Ummu Salamah:

(( شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَان ))

“Satu bulan penuh kecuali Sya’ban.”

➡ Dan perkataan ‘Aisyah:

(( شَعْبَانَ كُلَّه ))ُ

“Sya’ban seluruhnya”

➡ Yaitu sebagian besar Sya’ban, sebagaimana datang juga pada sanad lain hadits ‘Aisyah:

(( يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا ))

“Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.”

➡ Dan boleh dalam bahasa Arab memutlakkan pada orang yang berpuasa pada sebagian besar suatu bulan bahwasanya dia berpuasa sebulan penuh, dalam bab mayoritasnya, Sebagaimana dikatakan: ‘Aku tidak tidur (terjaga) semalam suntuk’,
bisa jadi dia makan malam dan sibuk dengan perkara lain.”

Soal:

  1. Apakah berdosa orang yang menyengaja berbuka ketika berpuasa sunnah tanpa uzur? Dan apakah wajib atasnya mengqodhonya? Jawab:

🌻”Tidak berdosa, tidak wajib atasnya menyempurnakan puasa dan tidak pula mengqodhonya, hanya saja disunnahkan baginya hal tersebut; sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Beliau berkata:

أُهٍدِِِيت لَنا هَدِية, فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ أخَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا قَالَ:(( مَا هُوَ؟ )) قُلْتُ حَيْسٌ قَالَ:(( هَاتِيهِ )) فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا.

“Kami diberi hadiah, maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali aku pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untuk Baginda.” Beliau bertanya: “Makanan apa itu?” saya menjawab, “Kue hais (yakni terbuat dari kurma, minyak samin dan keju).” Beliau bersabda: “Bawalah kemari.” Maka kue itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, “Sungguh dari pagi tadi aku puasa.”

➡ Dan karena tidak diwajibkan atas Beliau ‎ﷺ memulai puasa sunnah, maka tidak wajib pula menyempurnakannya, dan berikutnya tidak wajib mengqodhonya karena tidak wajibnya berpuasa atau menyempurnakannya setelah memulainya.

🌿Faedah:

Dikecualikan dari tidak diwajibkan menyempurnakan perkara sunnah, pada perkara manasik haji dan umroh; sesungguhnya apabila seorang muslim telah memulainya, maka wajib baginya menyempurnakannya;
karena Allah Ta’ala berfirman:

{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ }. 

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 196)

🍃Imam An-Nawawi berkata:

” Adapun apabila telah memulai manasik haji atau umroh tatawwu’ (sunnah), sungguh wajib baginya menyempurnakannya, ini tanpa khilaf (perbedaan pendapat Ulama).”

📚Al-Majmu’ (6/393)

Soal:

  1. Seorang yang biasa melaksanakan puasa sunnah, apakah disyariatkan baginya mengqodhonya bila meninggalkannya ? Jawab:

🍀”Disyariatkan mengqodho baginya; sebagaimana dalilnya adalah hadits ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ‎ﷺ bersabda kepada seorang laki-laki :

(( صُمْتَ سُرَرَ شعبان؟)) قَالَ لَا قَالَ:(( فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْن )).

“Apakah kamu biasa puasa di akhir bulan Sya’ban ?.” dia menjawab; “Tidak.” Beliau bersabda: “Apabila kamu tidak berpuasa, maka berpuasalah dua hari saja (di bulan yang lain [sebagai qodho) dikarenakan hari yang luput tidak memuasainya).

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🍁Berkata Ibnu Hajar rahimahullah:

“Di dalamnya (hadits) disyariatkan qodho puasa sunnah.”

🍀Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:

“Di dalamnya terdapat dalil sunnahnya mengqodho apa yang luput dari puasa sunnah.”

➡ Sementara Lajnah Daaimah (Majelis Ulama Saudi Arabia) berpendapat:

“Bahwa puasa sunnah tidak diqodho’ walaupun ditinggalkan (berbuka) secara sengaja.”

Soal:

  1. Apakah boleh bagi seorang wanita berpuasa sunnah tanpa ijin suaminya? Jawab:

🌾”Tidak boleh baginya berpuasa sunnah melainkan dengan ijin suaminya selama suaminya ada di rumah bukan sedang tidak di rumah (melakukan safar). Dalilnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه )).

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Janganlah seorang wanita berpuasa padahal suaminya sedang ada, kecuali dengan seizinnya.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

➡ Tidak batal puasanya jika seorang wanita berpuasa tanpa ijin suaminya, karena larangan tidak terkait dengan dzat (asal) puasa tersebut, hanya saja itu perkara di luar puasa. Hal itu karena hak suami dalam melakukan jimak dengan istrinya, dan ini kewajiban istri.”

Soal:

  1. Apakah yang lebih utama bagi orang yang berpuasa sunnah berbuka ketika ada tamunya? Jawab:

🍂”Yang benar dalam masalah berbuka ketika ada tamu itu tergantung keadaan,
➡ Apabila tamunya memandang “tidak berbuka”, dianggap tidak menghormati tamu, maka dia berbuka; dikarenakan memuliakan tamu adalah wajib.

➡ Apabila tamu itu mengetahui keadaan dan situasi dan memberi uzur kepadanya, jika tamu itu berkata : ‘Sesungguhnya dia berpuasa.’ Maka yang lebih utama bagi tuan rumah itu tidak berbuka. Dan hukum masalah ini tergantung keadaan.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🌹Bab seputar penjelasan tentang puasa yang dilarang dan dimakruhkan🌹

Soal:

  1. Apakah hukum berpuasa pada dua Hari Raya? Jawab:

🌳”Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan ijmak Ulama atas pengharaman berpuasa pada dua Hari Raya sama saja puasa fardhu seperti qodho, nadzar atau kaffarah- atau puasa sunnah; sebagaimana dalilnya adalah hadits Abu Said Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang puasa pada dua hari, yaitu; pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha).

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Dan juga hadits ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:

عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الْآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

Dari ‘Umar bin Al Khaththob radhiyallahu ‘anhu lalu dia berkata: “Inilah dua hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang puasa padanya, yaitu pada hari saat kalian berbuka dari puasa kalian (‘Idul Fitri) dan hari lainnya adalah hari ketika kalian memakan hewan qurban kalian (‘Idul Adha). “

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Soal:

  1. Apa hukum puasa sunnah pada Hari Tasyrik? Jawab:

🌱”Hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, diharamkan puasa sunnah di hari itu. Dalilnya adalah:

عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ )).

Dari Nubaisyah Al-Hudzali dia berkata; Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hari-hari Tasyrik (tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijah) adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.”

📚HR. Muslim.

📌Sebagaimana diriwayatkan Imam malik dengan sanad yang sahih dari hadits ‘Amr bin Al Ash radhiyallahu ‘anhu:

(( هَذِهِ الْأَيَّامُ الَّتِي كان رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يأمَرَنَا بِفِطْرِهِا ينَهَونَا َعَنْ صِيَامها :أَيَّامُ التَّشْرِيقِ )).

“Ini adalah hari-hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kita untuk berbuka dan melarang kita untuk berpuasa.”

📚HR. Imam Malik.

▶ Maksudnya adalah hari-hari Tasyrik.

Soal:

  1. Apakah hukum puasa fardhu pada hari Tasyrik seperti puasa kaffarah, nazar, qodho dan semisalnya? Jawab:

🌼”Tidak boleh berpuasa pada Hari Tasyrik baik itu puasa sunnah atau puasa fardhu kecuali orang yang berhaji Tamattu’ dan dia tidak mempunyai hewan sembelihan, maka sesungguhnya wajib baginya puasa 3 hari ketika berhaji. Sungguh Syariat telah memberinya keringanan, puasa wajib 3 hari ketika berhaji ini ditunaikan pada hari Tasyrik; sebagaimana dalilnya adalah hadits Aisyah dan Ibnu Umar :

عَنْ عَائِشَةَ وَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَا لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ.

Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma keduanya berkata: “Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari tasyrik kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan kurban (Al’Hadyu) ketika menunaikan haji.”

📚HR. Bukhori.

Soal :

  1. Hukum puasa Dahr (sepanjang masa)? Jawab:

🌴”Makruh hukumnya puasa Dahr, walaupun dia berbuka pada dua Hari Raya dan Hari Tasyrik; sebagaimana dalilnya hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ‎ﷺ bersabda :

(( لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ )).

“Tidak dianggap puasa bagi siapa yang puasa sepanjang masa.”

Pada lafaz yang lain :

(( لَا صَامَ مَنْ صَامَ الدَّهْرَ )).

“Tidak ada nilai puasa bagi siapa yang mengerjakan puasa sepanjang masa.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Sebagaimana dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ‎ﷺ bersabda pada orang yang berpuasa dahr :

(( لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ)).

“Dia tidak berpuasa dan tidak juga berbuka.”

Yaitu puasanya dan berbukanya sama, tidak diberi pahala dan tidak diberikan hukuman, menjadilah dia letih tanpa faedah.

🌰Berkata Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah:

“Dan karena pada kebanyakannya, jika seorang berpuasa Dahr, akan terjadi kekurangan dalam melaksanakan apa yang diwajibkan atau disunnahkan atasnya. Misalnya : terkadang bermalasan dalam menuntut ilmu, terkadang malas menolong orang yang membutuhkan pertolongan, terkadang malas mencari rezeki untuk keluarganya dan semisalnya. Yang benar kita katakan: petunjuk terbaik adalah petunjuk Rasulullah ‎ﷺ . Dahulu Beliau puasa sampai dikatakan Beliau tidak berbuka (karena berpuasa di kebanyakan hari), dahulu Beliauﷺ berbuka sampai dikatakan Beliau tidak berpuasa, karena mengikuti kemaslahatan, atau dikatakan berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

Soal:

  1. Hukum berpuasa di hari Jumat saja jika tidak bertepatan dengan puasa yang disunnahkan di hari itu, misalnya ‘Arafah ? Jawab:

🌺”Sebagian Ulama berpendapat: ‘Makruh berpuasa di hari Jumat saja. Sebagian lagi berpendapat: bahkan haram; sebagaimana dalilnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:(( لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَه )).

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jumat kecuali dibarengi dengan satu hari sebelum atau sesudahnya.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

Dan juga hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادٍ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَالَ نَعَمْ.

Dari Muhammad bin ‘Abbad berkata; “Aku bertanya kepada Jabir radhiyallahu ‘anhuma: apakah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang puasa pada hari Jumat? Dia menjawab: “Benar”.

📚HR. Bukhori dan Muslim.

📌Catatan :

🌾Berkata Al-Allamah Syaikh Al”Utsaimin rahimahullah dalam ta’liqnya atas Al-Kaafiy karya Ibnu Qudaamah:

“Di saat kita bertanya mengapa kita tidak membawa larangan kepada pengharaman? Dan Rasulullah ‎ﷺ menguatkan larangan “Sungguh janganlah berpuasa”,
Mengapa kita tidak mengatakan “Sesungguhnya berpuasa hari jumat haram?”
Kita katakan :karena Rasulullah ‎ﷺ membolehkan berpuasa (hari Jumat) jika digabungkan kepadanya dengan puasa sebelum atau sesudahnya. Dan seandainya puasanya haram tidaklah menjadi halal dengan menggabungkan puasa sebelum atau sesudahnya, seperti puasa di hari raya misalnya, maka sesungguhnya tidak boleh berpuasa di hari raya walaupun digabungkan kepadanya puasa sehari sebelum atau sesudahnya.”

Risalah Kedua Puluh Delapan – Bab seputar penjelasan tentang puasa Yang dilarang dan dimakruhkan

🌹Risalah Kedua Puluh Delapan🌹

🌷Bab seputar penjelasan tentang puasa Yang dilarang dan dimakruhkan🌹

Soal:

  1. Kapan dimakruhkan menyendirikan hari Jumat dengan puasa dan malamnya dengan salat? Jawab:

🍁”Apabila dia bermaksud hari Jum’atnya (secara tersendiri), adapun apabila dia berpuasa, maka berpuasalah, sekalipun hari Jum’at yaitu seandainya dia berpuasa, maka dia sehari berpuasa dan sehari berbuka (puasa Dawud misalnya), dan bila bertepatan hari Jum’at dia berpuasa maka ini tidak mengapa,
➡ begitu juga seandainya bertepatan dengan puasanya hari Asyura (10 Al-Muharram),
➡ atau bertepatan dengan hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), maka tidak mengapa,
🔥 dan yang terlarang darinya adalah memaksudkannya (secara tersendiri), dan dia berkata: ‘Aku berpuasa ; karena ini adalah hari Jum’at, begitu juga malam Jumat, janganlah engkau khususkan untuk salat,
➡ akan tetapi seandainya seseorang, pada waktu malam itu sedang semangat dan dia melakukan salat, bukan karena salatnya itu pada malam Jum’at, akan tetapi karena dia lagi semangat, maka dikatakan padanya: ‘Apakah engkau salat karena pada malam Jum’at?’, apabila dia berkata: ‘Aku salat karena aku lagi semangat, maka semisal ini adalah tidak dimakruhkan,
➡maka dibedakan antara yang bermaksud menyendirikannya/mengkhususkannya (hari Jum’at atau malamya untuk ibadah) dan antara yang melakukannya karena perkara lain.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Apakah hukum menyendirikan hari Sabtu untuk puasa Sunnah? Jawab:

🌻”Datang hadits dari Ash Shamaa` bintu Busr radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا مَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا عُودَ عِنَبٍ أَوْ لِحَى شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا )).

Dari Abdullah bin Busr dari Saudarinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali kalau hal itu diwajibkan atas kalian, jika di antara kalian tidak mendapatkan kecuali tangkai anggur atau kulit tanaman maka hendaknya ia menelannya (untuk membatalkan puasa).”

📚HR. Abu Dawud dan selainnya.

Para Ulama telah berbeda pendapat tentang kesahihan hadits ini, dan yang lebih dekat adalah tidak sahih.”

➡ Dan kalau seandainya sahih, dikecualikan darinya dua keadaan yang boleh padanya berpuasa sunnah, yaitu:

  1. Apabila dia berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya (puasa Dawud), sebagaimana dalam hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhori :
    ‘Bahwa barang siapa yang berpuasa pada hari setelah Jum’at tidak mengapa, dan telah dimaklumi bahwa setelahnya hari Sabtu.’

▶ Dan sebagaimana hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: ‘Kebanyakan hari yang dahulu Rasulullah ‎ﷺ berpuasa padanya dari hari-hari adalah hari Sabtu dan Ahad, dan beliau bersabda:
“Sungguh keduanya adalah hari raya kaum Musyrik, sedangkan Aku hendak menyelisihi mereka.”

  1. Apabila bertepatan hari Sabtu dengan puasa yang biasa dia kerjakan, seperti 10 Al Muharram, ‘Arafah misalnya; sebagaimana dalam hadits: (( صُم يَوماً وَ أَفطِر يَوماً )). ” Berpuasalah satu hari dan berbukalah di hari setelahnya.”

Dan barang siapa berpuasa satu hari dan berbuka di hari setelahnya, mesti dia akan bertepatan pada hari berpuasanya hari Sabtu.”

Soal:

  1. Apabila bertepatan hari Sabtu pada hari yang disunnahkan berpuasa semisal puasa ‘Arafah, maka apakah dimakruhkan berpuasa pada hari Sabtu ? Jawab:

🍁”Boleh puasa ‘Arafah secara tersendiri, sama saja apakah bertepatan dengan hari Sabtu atau selainnya dari hari-hari dalam sepekan; dikarenakan tidak ada perbedaan di antaranya; karena puasa ‘Arafah adalah puasa tersendiri, dan hadits larangan dari berpuasa hari Sabtu adalah hadits lemah karena idhthirab (kegoncangannya) dan menyelisihinya hadits-hadits yang sahih.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah hukum mendahului bulan Ramadh4an dengan puasa sunnah sehari atau dua hari? Jawab:

🌺”Tidak boleh mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, dan seandainya dia tidak melakukan itu sebagai bentuk kehati-hatian akan Ramadan melainkan bagi seorang yang bertepatan dengan hari yang dia telah terbiasa berpuasa, sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ )).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”.

Soal:

  1. Apakah sahih hadits dalam pengkhususan puasa bulan Rajab? Jawab:

🌻”Adapun puasa Rajab secara khusus, maka hadits-haditsnya semuanya adalah hadits lemah, bahkan hadits palsu, Para Ulama tidaklah menjadikan pegangan sedikitpun darinya.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

🍂”Semua hadits dalam penyebutan tentang puasa bulan Rajab dan salat pada sebagian malamnya adalah kedustaaan dan diada-adakan.”

✒(Imam Ibnul Qayyim).

🌾”Tidak sahih hadits dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus sama sekali dari Nabi ‎ﷺ.”

Soal:

  1. Apakah hukum puasa Rajab secara keseluruhan? Jawab:

🍂”Dimakruhkan yang demikian itu; dikarenakan dalam pengkhususannya dengan puasa adalah menyerupai dengan perbuatan orang-orang musyrik, yang dahulu mereka ini mengagungkannya pada masa jahiliyah, dan telah sahih sebagian atsar dari sebagian Sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang larangan dalam pengkhususan bulan Rajab dengan puasa;

➡ Dan Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkn dengan sanad sahih dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau memukul telapak-telapak tangan manusia di bulan Rajab sampai mereka meletakkannya di piring-piring, dan beliau berkata: “Makanlan ini, karena hanya saja bulan Rajab adalah bulan yang orang-orang jahiliyah mengagungkannya.”

➡ Dan Imam Abdur Razaq telah meriwayatkn dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya beliau melarang dari puasa di bulan Rajab seluruhnya, supaya tidak dijadikan hari raya.”

➡ Dan dalam fatwa Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]:

“Pengkhususan puasa Rajab hukumnya makruh, dan apabila berpuasa sebagiannya dan berbuka sebagian yang lain, maka hilanglah kemakruhannya.”

Soal:

  1. Apakah hukum mengkhususkan suatu hari dengan puasa secara jamaah? Jawab:

🌳”Hukumnya adalah bid’ah.”

✒(Syaikh Muqbil Al Wadi’y).

🌹Bab penjelasan tentang Iktikaf🌹

Soal:

  1. Apakah pengertian Iktikaf? Jawab:

🍃” Iktikaf secara bahasa: menetapi (menekuni) sesuatu, menahan diri di atasnya, sama saja dalam kebaikan atau dalam kejelekan,
Allah Ta’ala berfirman:

{ٖ مَا هٰذِهِ التَّمَا ثِيْلُ الَّتِيْۤ أَنْتُمْ لَهَا عٰكِفُوْنَ }.

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 52).

Yaitu: “mereka tekun menyembahnya.”

➡ Adapun pengertian secara syariat:
Imam Ibnu Hazm mendefinisikan bahwa Iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla sesaat atau lebih, baik di malam hari atau siang hari.”

Soal:

  1. Apakah hakikat dari Iktikaf dan apakah tujuan terbesar darinya?

Jawab:

🌺”Makna Iktikaf dan hakikatnya adalah memutus hubungan dari makhluk untuk berhubungan dalam mengabdi kepada Al Khaliq (Allah).”

✒(Imam Ibnu Rajab).

Soal:

  1. Apakah hikmah disyariatkannya Iktikaf? Jawab:

🌷”Tujuannya dan intinya adalah mempersembahkan hati untuk Allah Ta’ala dan menyatukannya untuk-Nya, beribadah kepada-Nya, dan memutus dari kesibukan dengan makhluk, dan semata sibuk dengan-Nya, di mana dia jadikan untuk ingat kepada-Nya dan cinta kepada-Nya, menghadapkan untuk-Nya pada kesedihan hati dan angan-angan kosong dalam pikirannya, sehingga menguasai padanya penggantinya (cinta dan ingat kepada-Nya), maka kesedihan semuanya berubah menjadi kesenangan dengan beribadah kepada-Nya, dan angan-angan kosong berubah menjadi untuk mengingat-Nya, dan dia memikirkan dalam menggapai keridhaan-Nya dan apa yang mendekatkan dari-Nya, maka menjadilah kesenangannya dengan Allah sebagai ganti kesenangannya dengan makhluk, maka dia sedang menyiapkan bekal yang demikian itu, karena sungguh dia akan menjumpai hari terasa sunyi (kesedihan) di alam kubur ketika tidak ada keramahan baginya, dan tidak pula apa yang menggembirakannya selainnya (ketika seorang memiliki bekal amalan ibadah maka itu yang akan menemani dalam kuburnya), maka ini adalah maksud agung dari Iktikaf.”

✒(Imam Ibnul Qayyim).

🌿”Dan adapun maksud darinya:
‘Menyatukan hati kepada Allah Ta’ala dengan beribadah bersamaan dengan kosongnya lambung, dan menghadap pada-Nya Ta’ala, menikmati dalam mengingat-Nya, dan berpaling dari selain-Nya’.”

✒(Imam Ash-Shan’any).

Risalah Kedua Puluh Lima

🌹Risalah Kedua Puluh Lima🌹

🌷Bab menqodho puasa dan berpuasa untuk orang yang telah meninggal dan hukum yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
230. Apakah dipuasai atas mayit puasa sunnah?

Jawab:

🍀”Tidak dipuasai atas mayit puasa sunnah.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🌷Bab bimbingan tentang hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa🌹

Soal:
231. Apakah dalam puasa sunnah disyaratkan berniat dari malam hari?

Jawab:

🍁”Tidak disyaratkan, dengan syarat belum melakukan sesuatu dari pembatal-pembatal puasa, dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ‎ﷺ datang ke rumah ‘Aisyah di suatu hari dan Beliau ‎ﷺ bersabda:

(( هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ ))
فقالوا:لا, فقال : (( فإني إذا صائم )).

“Apakah kamu mempunyai sesuatu?”
Mereka menjawab: tidak,
Beliau ‎ﷺ: “Kalau begitu aku puasa.”

📚HR. Muslim no.1154.

Menurut pendapat yang sahih ditulis baginya pahala dari waktu di mana dia niatkan berpuasa bukan dari awal siang.”

Soal:
232. Apabila seorang berniat puasa hari senin di siang harinya, apakah ditulis baginya keutamaan puasa hari Senin ?

Jawab:

🌻”Dia tidak mendapatkan pahala puasa hari senin, karena tidak bisa dikatakan: dia berpuasa di hari itu, hanya saja dikatakan: dia berpuasa sebagian hari, begitu pula puasa di hari-hari Al-Ayyamul Bidh (13, 14, 15), kalau dia beniat di tengah hari maka sesungguhnya dia tidak mendapatkan pahala puasa tertentu, walaupun sah puasanya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
233. Hukum puasa 6 hari di bulan Syawal?

Jawab:

🌺”Hukum puasa 6 hari di bulan syawal adalah sunnah, Dalilnya adalah:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ )).

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa satu tahun.”

📚HR. Muslim.

🌾Berkata Al-‘Imroni rahimahullah berkata:

“Sahabat kami (Asy-Syafi’iyyah) berkata: ‘ini benar dalam hitungan; dikarenakan kebaikan 10 kali lipat, dan puasa Ramadan menduduki tempat 300 hari, setara 10 bulan, apabila berpuasa 6 hari setelahnya maka menduduki tempat 60 hari setara 2 bulan, dan yang demikian itu
jumlah total setahun penuh.”

Soal:
234. Apa yang utama dalam puasa 6 hari di bulan Syawal itu?

Jawab:

🍂”Tidak ada bedanya di awal bulan atau tengah bulan atau di akhir bulan, berurutan atau terputus (dipisah-pisah), dan yang utama berpuasa berurutan di awal bulan setelah hari raya secara langsung, karena bersegera kepada kebaikan, Allah Ta’ala berfirman:

{ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ }.

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 148).

Dan karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi, bisa jadi hari ini dia masih hidup sedangkan besok meninggal.”

Soal:
235. Seorang berbuka suatu waktu di bulan Ramadan kemudian dia ingin berpuasa 6 hari Syawal, apakah dia mendapatkan pahala yang disebutkan dalam hadits?

Jawab:

🌷”Ukuran pahala amalan seorang hamba yang dia kerjakan karena Allah itu adalah termasuk kekhususan Allah Ta’ala, Dan seorang hamba jika mencari pahala dari Allah Jalla wa ‘Alaa dan bersungguh-sungguh dalam mentaatinya maka sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyia-nyiakan pahalanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{ إِنَّا لَا نُضِيْعُ أََجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا }.

“Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu.”(QS. Al-Kahf 18: Ayat 30).

Dan yang sepantasnya bagi orang yang mempunyai qodho Ramadan, berpuasa qodho terlebih dahulu kemudian puasa 6 hari Syawal, karena tidak terwujud puasa 6 hari Syawal mengikuti puasa Ramadan kecuali jika menyempurnakan puasa Ramadan terlebih dahulu.”

✒(Lajnah Ad-Daimah. [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
236. Apakah disyariatkan qodho puasa 6 hari Syawal karena tidak mampu berpuasa di bulan Syawal disebabkan uzur syariat?

Jawab:

🌿”Dia mengqodhonya, dan akan ditulis baginya pahalanya, seperti fardhu (kewajiban) apabila tertunda pelaksanaannya dari waktunya karena uzur, seperti sunnah rawatib jika tertunda pelaksanaannya karena uzur sampai keluar dari waktunya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🍃”Apabila dia berpuasa di luar bulan Syawal karena uzur syariat baginya pahala, bila dia berpuasa di luar bulan Syawal tanpa uzur seperti kalau dia mengakhirkannya (sampai habis waktunya), maka dia sesungguhnya tidak mendapatkan keutamaan puasa 6 hari Syawal.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
237. Hukum puasa Arafah bagi orang yang tidak berhaji ?

Jawab:

🌳”Disunnahkan bagi orang yang tidak sedang berhaji untuk berpuasa Arafah, sebagaimana hadits Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَه )).

“Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.”

📚H.R. Muslim no.1162.

Soal:
238. Apakah disunnahkan berpuasa Arafah bagi orang yang sedang berhaji ?

Jawab:

🌼Tidak disunnahkan baginya; sebagaimana hadits dalam Shahihain yaitu :

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

dari Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits bahwa; “Orang-orang ragu tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ‘Arafah. Sebagian dari mereka mengatakan Beliau berpuasa, sebagian yang lain mengatakan tidak, Lalu aku utus seseorang membawakan segelas susu ketika Beliau sedang wukuf, maka Beliau meminumnya”.

📚 HR. Bukhori dan Muslim.

Dan karena berbukanya jamaah Haji pada hari Arafah agar kuat dalam melaksanakan amalan di hari Arafah dari memperbanyak doa dan selainnya.”

🌱Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Kalau dikatakan makruh, maka padanya satu segi pendalilan, apabila kita katakan makruh maka dia tidak mendapatkan pahala puasa di hari ini.”

Soal:
239. Apakah disunnahkan puasa tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah?

Jawab:

🌴”Disunnahkan hal itu menurut Jumhur ‘Ulama. Sebagaimana hadits dalam shahih Bukhori yaitu :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي الْعَشْرَ )) قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَال:َ (( وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ )).

Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih disukai oleh Allah kecuali hari-hari ini, yakni sepuluh hari (di awal bulan Dzulhijjah), para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga dengan jihad di jalan Allah! ” beliau menjawab: “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan harta dan jiwanya, lalu tidak ada yang kembali lagi. “

📚 HR. Bukhori no.969.

Dan puasa termasuk amalan saleh bahkan puasa adalah paling utamanya amalan saleh yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.”

Risalah Kedua Puluh Empat

🌹Risalah Kedua Puluh Empat🌹

🌷Bab menqodho (mengganti) puasa dan berpuasa untuk orang yang telah meninggal dan hukum yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
220. Apabila seorang itu meninggal setelah sakitnya sebelum mampu mengqodho, apakah dia dipuasakan (orang lain)?

Jawab :

🍃”Tidak dipuasakan menurut pendapat Jumhur Ulama, sebagian Ulama menukilkan kesepakatan Ulama atas masalah ini; karena dia meninggal sebelun mempunyai kemampuan untuk mengqodho. Sungguh Allah Ta’ala berfirman:

{ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا }.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 286).

Telah tetap (tsabit) dari riwayat Imam Abdurrozzaq dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau berpendapat dalam perkara seorang yang sakit di bulan Ramadan terus menerus dalam keadaan sakit sampai dia meninggal?
Maka beliau berkata: ‘Tidak ada padanya sesuatupun tanggungan’.”

Soal
221. Seorang yang memungkinkan mengqodho kemudian meninggal dan belum mengqodho, maka apakah yang seharusnya dilakukan pada perkaranya?

Jawab:

🍁”Keluarganya mengqodho puasanya menurut pendapat yang sahih. Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ )).

“Barang siapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa, maka walinya (boleh) berpuasa untuknya.”

📚HR. Bukhori dan Muslim

Boleh bagi mereka memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa dari warisannya sedangkan puasa lebih utama.”

Soal:
222. Apakah membayar puasanya orang yang sudah meninggal secara khusus dikarenakan puasa nazar?

Jawab:

🌻”Yang benar bolehnya wali mayit memuasai untuk mayit sama saja puasa Ramadan, nazar dan selainnya dari puasa wajib. Dikarenakan hadits-hadits sahih tentangnya dan tidak ada pertentangan di dalamnya.”

✒(Imam An Nawawi).

🌾”Membawa hadits kepada puasa nazar saja adalah lemah sekali, karena sabda Rasulullah ‎ﷺ adalah perkataan yang terjaga, Beliau ‎ﷺ mengetahui apa yang Beliau ‎ﷺ katakan, dan mengerti keadaan yang masuk padanya dalam perkataan ini. Apakah mungkin Rasulullah ‎ﷺ memaksudkan nazar saja, sedangkan nazar jarang sekali dan meninggalkan qodho Ramadan sedangkan mengqodho sering terjadi? Tidak mungkin ini selamanya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
223. Apabila tidak dimudahkan berpuasa untuk mayit, maka apa yang seharusnya dilakukan?

Jawab :

🍂”Apabila tidak dimudahkan mengqodhokan puasa bagi mayit, maka memberi makan satu orang miskin tiap hari (puasa yang ditinggalkan).”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:
224. Ayahku meninggal dan padanya hutang puasa Ramadan, aku tidak tahu berapa hari hutang ayahku secara pasti, apa yang harus aku lakukan?

Jawab:

🌿”Disyariatkan bagimu untuk berpuasa membayar puasa ayahmu dari hutang puasa yang menurut dugaan kuatmu bahwa ayahmu telah berbuka; karena keumuman sabda Rasulullah ‎ﷺ;

(( مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّه )).

“Barang siapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka walinya (boleh) berpuasa untuknya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
225. Seorang berbuka puasa 10 hari , kemudian memungkinkan baginya mengqodho 4 hari tetapi dia belum sempat berpuasa kemudian meninggal, maka berapa hutang puasa yang harus dibayar?

Jawab:

🌺”Walinya berpuasa sebanyak hari yang memungkinkan dia berpuasa tetapi belum sempat berpuasa. Walinya berpuasa 4 hari, karena dia tidak mampu berpuasa kecuali 4 hari.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
226. Siapakah wali mayyit dalam sabda Rasulullah ‎ﷺ

(( مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ )).

“Barang siapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa, maka walinya (boleh) berpuasa untuknya.”

Jawab:

🍀Wali mayit semua kerabat mayit, sama saja dari pihak yang mewarisi seperti anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami/istri atau yang tidak mewarisi, kerabat dekat lalu yang lebih dekat (dengan mayit).

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
227. Apakah sah puasanya dari orang yang bukan kerabat mayit?

Jawab:

🌳”Rasulullah ‎ﷺ menyerupakan hal tersebut dengan hutang atas mayit, dan hutang boleh siapa saja yang membayarnya. Maka hal ini menunjukkan bahwasanya boleh siapa saja yang menunaikannya. Tidak khusus hal tersebut dengan anak.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah).

🌼”Tidak terkhusus hal itu dengan wali, bahkan siapa saja yang mau membayarkan qodhonya, maka tertunaikan, karena hal itu merupakan sedekah (berbuat baik), maka diserupakan melunasi hutangnya.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

Soal:
228. Apabila mayit punya hutang 10 hari misalnya kemudian 10 orang berpuasa mengqodhonya pada hari yang sama, apakah qodhonya tertunaikan padanya?

Jawab:

🌱”Tertunaikan qodhonya, Tidak disyaratkan dalam puasa qodho ini, hari-hari yang berbeda, karena mereka ketika berpuasa untuk menunaikan qodho mayit pada hari yang sama, sungguh mereka telah berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkan, karena masing-nasing orang berpuasa satu hari untuknya. Dan ini disyaratkan pada puasa, tidak wajib padanya berturut-turut berbeda puasa kaffarah zhihar dan membunuh tidak sengaja (yang mengharuskan berturut-turutan).”

Soal:
229. Apabila mayit mempunyai hutang puasa yang harus berturut-turut, apakah sah apabila puasa tersebut dibagi beberapa orang ?

Jawab:

🌴”Tidak boleh membaginya atas sekelompok orang, hanya saja berpuasa untuknya seorang saja secara berturut-turut sebagaimana yang disyariatkan Allah Ta’ala.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

🌰”Adapun apabila dulunya mayit mempunyai kaffarah zhihar yaitu dua bulan berturut-turut. Maka tidak mungkin dibagi antara ahli warisnya dikarenakan syaratnya harus berturut-turut, dan baginya jika wajib atas mayit puasa dua bulan berturut-turut, maka ada baiknya salah seorang ahli waris mewakili yang lainnya dan berpuasa untuk mayit (dua bulan berturut-turut) atau boleh mereka (ahli waris) memberi makan 1 orang miskin setiap hari.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Risalah Kedua Puluh Tiga – Bab menqodho (mengganti) puasa dan berpuasa untuk orang yang telah meninggal dan hukum yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kedua Puluh Tiga🌹

🌷Bab menqodho (mengganti) puasa dan berpuasa untuk orang yang telah meninggal dan hukum yang berkaitan dengannya 🌷

Soal:
211. Manakah yang lebih utama antara menyegerakan puasa fardhu seperti qodho dan kaffarah ataukah puasa sunnah ?

Jawab :

🍁”Yang shahih (kuat) adalah bolehnya melakukan amalan sunnah selama waktunya tidak sempit, dan ini selain puasa Syawal, karena bahwa puasa 6 hari Syawal harus (ditekankan) setelah qodho karena Rasulullah ‎ﷺ;

(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ )).

“Siapa yang berpuasa Ramadan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal.”

✒(Syaikh Al ‘Utsaimin).

🌻”Yang utama adalah mendahulukan apa yang diwajibkan Allah Ta’ala padanya. Karena Rasulullah ‎ﷺ bersabda dalam hadits qudsi:

(( وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْه )).

“Hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan.”

Akan tetapi apabila di sana ada hari yang memiliki keutamaan dan dia takut kehilangannya, dan waktu mengqodho ada keluasan, maka tidak mengapa in sya Allah (mengakhirkan qodho), sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mempunyai hutang puasa, tidaklah menqodhonya melainkan di bulan Sya’ban.”

✒(Syaikh Muqbil Al-Wadi’y).

🌷Aku (Penulis) berkata:

“Yakni : mustahil beliau radhiyallahu ‘anha tidak melaksanakan puasa sunnah walaupun satu hari, di antara waktu ini, bersamaan Rasulullah ‎ﷺ menghasung puasa ‘Asyura, ‘Arofah, Senin dan Kamis serta puasa di tanggal 13, 14, 15.”

Soal:
212. Apakah wajib mengqodho puasa sebelum masuk Ramadhan4 berikutnya?

Jawab:

🌼”Wajib mengqodho sebelum masuk Ramadan berikutnya. Barang siapa yang mengakhirkan tanpa uzur syariat, maka dia berdosa, karena asal dari perintah adalah menunaikannya secara segera. Dan sungguh Allah Ta’ala memerintahkan qodho dengan firman-Nya :

{ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ  }.

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185).

Dan karena mengakhirkannya sampai datang Ramadan berikutnya menyerupai seorang yang mengakhirkan salat sampai masuk waktu sholat fardhu berikutnya, maka dia berdosa. Dan juga karena ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu mengakhirkan mengqodho dari Ramadan sampai Sya’ban, dan menggantinya di bulan Sya’ban, karena kesibukannya dengan Rasulullah ‎ﷺ, maka perbuatan beliau radhiyallahu ‘anha merupakan penjelasan dari beliau tentang batas akhir yang diperbolehkan mengqodho puasa.”

Soal:
213. Orang yang mengakhirkan mengqodho sampai masuk Ramadan berikutnya, maka apa yang wajib atasnya?

Jawab:

🌱”Wajib baginya menqodho saja; karena yang diperintahkan dengannya dalam firman Allah Ta’ala:

{ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ }.

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185).

Apabila dia memberi makan orang miskin bersama mengqodho puasa maka ini adalah bentuk kehati-hatian, sebagai pengamalan apa yang telah datang riwayatnya dari sebagian Sahabat dari pendapat: ‘memberi makan satu orang miskin setiap harinya’.”

Soal:
214. Seorang wanita terlambat mengqodho puasa sampai datang Ramadan berikutnya karena hamil dan menyusui, maka apa yang wajib atasnya?

Jawab:

🌾”Tidak mengapa atasnya dalam mengakhirkan qodho disebabkan adanya kesulitan karena hamil dan menyusui, kapan dia memiliki kemampuan, maka bersegera mengqodho puasanya, dikarenakan dia dalam hukum orang yang sakit.
Allah Ta’ala berfirman:

{  ۗ وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ  }.

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

“Jika dia mengakhirkan mengqodho dikarenakan adanya uzur, semisal sakit atau adanya kelemahan tidak kuat untuk mengqodho apa yang luput darinya, tidak ada kewajiban atasnya memberi makan orang miskin.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
215. Seorang berbuka secara sengaja tanpa melakukan jimak, tidak memiliki uzur, apakah wajib atasnya mengqodho?

Jawab:

🌳”Barang siapa yang berbuka dengan sengaja tanpa uzur syariat, maka dia telah jatuh ke dalam salah satu dosa dari dosa besar, wajib atasnya taubat, istighfar, menyesal terhadap apa yang telah terjadi, bertekad tidak mengulangi dosa besar ini dan wajib atasnya mengqodho puasa tersebut menurut pendapat Jumhur ulama, bahkan Al-Baghawiy menukilkan ijma’ dalam perkara ini.”

Soal:
216. Haruskah berurutan dalam mengqodho puasa Ramadan?

Jawab:

🍀”Tidak wajib berturut-turutan dalam mengqodho puasa Ramadan; karena bacaan yang mutawatir pada ayat qodho dalam Al-Qur’an mutlak bukan muqoyyad (adanya ikatan) yaitu firman Allah Ta’ala:

{فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ  }.

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

Dan disunnahkan berturut-turut dalam mengqodho puasa dan bersegera, bergegas-gegas dalam lepas dari tanggungan; karena manusia tidak mengetahui apa yang akan merintanginya. Dan karena keumuman firman Allah Ta’ala:

{ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ ۗ }.

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 148).

Soal
217. Orang yang memulai mengqodho, apakah boleh baginya memutusnya (qodho)?

Jawab:

🍂”Barang siapa yang memulai mengerjakan yang wajib seperti qodho Ramadan, nazar tertentu atau mutlak, puasa kaffarah tidak boleh baginya keluar darinya, karena sesuatu yang ditentukan telah menjadi wajib atasnya masuk ke dalamnya. Dan yang tidak wajib di awalnya, telah menjadi wajib baginya dengan masuknya dia di dalamnya, maka menjadilah kedudukannya fardhu ‘ain. Tidak ada khilaf dalam hal ini. Alhamdulillah.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

Soal:
218. Seorang mempunyai kewajiban mengqodho lebih dari sebulan, bagaimana cara menggantinya?

Jawab:

🌿”Qodhonya ditunaikan secara berurutan, maka dia menqodho hari yang dia ditinggalkan dari bulan pertama kemudian bulan kedua dan seterusnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
219. Apabila seorang mengqodho puasa Ramadan atau kaffarah di hari Senin atau Kamis, apakah ditulis baginya pahala puasa sunnah ?

Jawab :

🍃”Ditulis juga baginya pahala sunnah menurut pendapat sebagian Ulama, karena maksudnya adalah mengagungkan dua hari ini dengan berpuasa, sungguh ini termasuk di dalamnya.”

Risalah Kedua Puluh Dua – Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kedua Puluh Dua🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
200. Jika seorang yang hamil mengalami keguguran apakah gugur darinya puasa dan salat?

Jawab:

🍁”Apabila janin yang dilahirkan sudah berbentuk penciptaan manusia seperti tangan, kaki dan semisalnya, maka dia duduk (menunggu) selama masa nifasnya sampai suci atau disempurnakan 40 hari kemudian dia mandi, salat dan mengganti puasa dihari di mana dia melahirkan (keguguran) dan hari setelahnya dari hari-hari puasa wajib, apabila suci sebelum genap 40 hari , maka dia mandi, salat dan puasa karena sudah hilang penghalangnya.

➡ Apabila belum tampak penciptaan manusia maka puasanya sah, darah yang keluar adalah darah fasid (rusak), dia kerjakan salat, puasa dan berwudu di setiap kali salat hingga datang kebiasaan haidnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
201. Darah keluar 5 hari sebelum melahirkan, apakah dia harus meninggalkan puasa dan salatnya ?

Jawab:

🌿”Apabila perkaranya seperti yang disebutkan dari keluarnya darah sedangkan dia hamil, 5 hari sebelum melahirkan,
➡ Apabila dia tidak mengalami tanda dekatnya melahirkan seperti kontraksi, maka darah yang keluar bukan darah haid bukan pula nifas tetapi darah fasid (rusak) menurut pendapat yang benar. Atas dasar ini, dia tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah bahkan dia harus berpuasa dan salat.

➡ Apabila bersama darah ini ada tanda dari tanda-tanda dekatnya melahirkan seperti kontraksi dan semisalnya, maka itu adalah darah nifas, maka dia tidak salat tidak pula puasa. Kemudian apabila telah suci dari nifas dia mengganti puasa dan tidak mengganti salat.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
202. Apabila seorang yang haid atau nifas suci di siang Ramadan, apakah dia harus menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu?

Jawab:

🍃”Tidak mengharuskannya, karena puasa disyaratkan menahan dari terbitnya fajar sampai tenggelam matahari, kalau dia menahan karena kesucian bulan Ramadan, maka itu lebih utama, sebagaimana ini pendapat Syafi’iyah.”

Soal:
203. Seorang wanita haid lima menit sebelum berbuka, bagaimana hukum puasanya?

Jawab:

🌷”Apabila muazin azan tepat pada waktunya, maka wajib baginya untuk mengganti puasanya hari tersebut,

➡ Adapun apabila muazin azan terlambat dari waktunya dan matahari telah tenggelam, maka puasanya sah.”

✒(Syaikh Al-Wadi’y).

Soal:
204. Hukum seorang wanita menggunakan obat pencegah haid agar tidak terputus puasanya?

Jawab:

🌻”Boleh bagi wanita menggunakan obat pencegah haid di bulan Ramadan, jika direkomendasikan oleh dokter ahli (spesialis) dan itu tidak memudaratkannya, tidak berpengaruh terhadap alat reproduksinya, dan lebih baik baginya tidak melakukan hal itu. Dan sungguh Allah Ta’ala telah memberikan keringanan baginya untuk berbuka ketika datang haidnya di bulan Ramadan, Allah Ta’ala mensyariatkan baginya untuk mengqodho puasa yang dia berbuka karenanya, Allah ridha kepadanya hal itu sebagai agama.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
205. Hukum puasa wanita yang mengalami istihadah?

Jawab:

🌾”Darah istihadah adalah darah rusak (fasid) keluar tidak pada waktu kebiasaan haid disebabkan adanya penyakit, keluar bukan seperti sifat darah haid.
Tidak ada perbedaan antara Ulama bahwa wanita yang mengalami istihadah, dia mengerjakan salat dan puasa. Dan boleh bagi suaminya untuk melakukan jimak dengannya menurut pendapat Jumhur Ulama.”

Soal:
206. Seorang wanita keluar darah di luar kebiasaan haidnya, apakah dia meninggalkan puasanya?

Jawab:

🌺”Apabila darah yang dia lihat keluar di luar kebiasaan haidnya dan tidak memiliki sifat darah haid maka dianggap nazif (pendarahan) dan hukumnya adalah hukum darah istihadah, dia dihukumi seperti wanita suci, dia melakukan salat, puasa, bolehnya jimak dan yang semisalnya, akan tetapi dia berwudu setiap kali salat. Dia berwudu setelah masuknya waktu salat dan beristinja.
➡ Adapun keluarnya darah pada waktu kebiasaan haidnya, maka ini dianggap sebagai darah haid, dia tidak boleh puasa, tidak pula salat, tidak juga jimak sampai dia suci dan mandi.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
207. Seorang wanita keluar darah di luar kebiasaan haidnya, selama 1 atau 2 hari, apakah wajib baginya salat dan puasa selama hari tersebut?

Jawab:

🍃”Ini adalah darah lebih dari kebiasaan haidnya, itu adalah darah penyakit, tidak dihitung dari kebiasaan haidnya. Maka wanita yang mengetahui kebiasaan haidnya, dia berdiam diri pada waktu kebiasaan haidnya dia tidak salat, tidak berpuasa, tidak menyentuh Al-Qur’an, suaminya tidak menjimakinya,
▶ Apabila telah suci dan hari-hari haidnya telah berhenti dan telah mandi, maka dia hukumnya suci, walaupun keluar darinya sesuatu dari darah, atau cairan kuning atau keruh, begitupula istihadah, tidaklah menghalanginya dari salat dan semisalnya.”

✒(Syaikh Ibnu Baz) .

Soal:
208. Apakah boleh bagi wanita menyusui dan hamil berbuka jika mengkhawatirkan atas diri dan anaknya?

Jawab:

🍀”Sepakat para fuqoha (ahli fikih) bahwa wanita hamil dan menyusui, mereka boleh berbuka di siang Ramadan,
➡ jika mengkhawatirkan atas diri atau anaknya sakit atau bertambah sakitnya, bahaya atau kematian. Maka anak yang dikandungnya kedudukannya seperti anggota badannya. Kekhawatiran atasnya dari bahaya seperti kekhawatiran terhadap sebagian anggota badannya.”

✒(Ibnu Qudamah).

🌻Aku (Penulis) katakan :

“Sandaran Ijmak (kesepakatan Ulama) adalah hadits Anas bin Malik Al Ka’biy radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

(( إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ )).

“Aku kabarkan padamu bahwa Allah Tabaraka Wa Ta’ala memberikan rukhshoh (keringanan) kepada musafir untuk tidak berpuasa dan mengqoshor salat, demikian juga wanita yang hamil dan menyusui (untuk tidak berpuasa).”

📚HR. Ahmad dan Abu Dawud.

Soal:
209. Apa kewajiban bagi wanita hamil dan menyusui jika berbuka karena mengkhawatirkan atas dirinya atau anaknya?

Jawab:

🍂”Jika seorang wanita mengkhawatirkan atas dirinya atau anaknya kemudian berbuka di bulan Ramadan, maka baginya mengqodho puasa saja. Keadaannya seperti keadaan orang sakit yang tidak mampu berpuasa, atau takut menimpa pada dirinya bahaya,
Allah Ta’ala berfirman:

{  وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِکُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِکُمُ الْعُسْرَ }.

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

Begitu juga wanita menyusui, jika takut atas dirinya jika dia menyusui anaknya di bulan Ramadan atau takut atas anaknya jika dia berpuasa sedangkan tidak menyusuinya. Maka dia berbuka dan mengqodho puasa saja.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🌷”Yang lebih menenteramkan jiwa bahwasanya dia wajib mengqodho dengan tanpa keraguan, adapun memberi makan (fidyah) di samping berpuasa maka ini adalah bentuk kehati-hatian (1) , apabila dia tidak memberi makan (fidyah) ,maka tidak mengapa bagi keduanya (wanita hamil dan menyusui).”

✒( Syaikh Al ‘Utsaimin).


(1).
Catatan :

📌Yaitu apabila wanita hamil dan menyusui berbuka karena mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, yang dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin adalah sebagai bentuk kehati-hatian, keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan Jumhur Ulama yang mewajibkan qodho puasa dan fidyah dalam hal ini, bahkan telah datang dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk wanita menyusui dan hamil jika takut atas anaknya kemudian berbuka maka atasnya memberi makan (fidyah) saja. Wallahua’lam.

Soal:
210. Seorang wanita harus melakukan cuci darah di ginjalnya, bagaimana puasanya?

Jawab:

🌿”Dia berbuka ketika cuci darah. Pada hari dia tidak cuci darah, apabila puasa memberatkannya, maka dia berbuka dan mengqodho semua hari yang dia berbuka setelah bulan Ramadan, jika dia mampu itu.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Risalah Kedua Puluh Satu – Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kedua Puluh Satu🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:

  1. Hukum berbuka puasa disebabkan ujian sekolah? Jawab:

🍁”Ujian sekolah dan yang semisalnya bukanlah termasuk uzur yang membolehkan seorang itu berbuka di siang Ramadan, tidak boleh mentaati kedua orang tua untuk berbuka karena ujian sekolah; sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Allah Azza wa Jalla, hanya saja ketaatan dalam kebaikan, sebagaimana datang hal tersebut hadits sahih dari Nabi ‎ﷺ.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah pekerjaan berat membolehkan berbuka puasa ? Jawab:

🍀”Tidak boleh bagi mukallaf berbuka di siang Ramadan hanya karena keadaannya sebagai pekerja, akan tetapi jika dia menemui kesulitan yang besar yang memaksanya berbuka di waktu siang, maka dia berbuka sekadar menolak kesulitannya, kemudian dia menahan diri dari pembatal puasa sampai matahari tenggelam dan berbuka bersama orang-orang yang berpuasa, dan dia mengqodho hari di mana dia berbuka.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🌻”Yang aku pandang dalam masalah ini, berbukanya dia karena pekerjaan hukumnya haram tidak boleh, apabila tidak memungkinkan mengumpulkan antara pekerjaan dan puasa maka dia mengambil cuti di bulan Ramadan, sampai mudah baginya untuk berpuasa di bulan Ramadan; karena puasa Ramadan adalah rukun dari rukun Islam, tidak boleh melanggarnya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Barang siapa yang menyangka bahwa dirinya tidak mampu berpuasa, apakah boleh baginya berniat untuk berbuka sejak malam hari ? Jawab:

🌺”Para pekerja berat termasuk dalam mukallaf (orang yang diberi beban syariat), dan mereka tidaklah masuk dalam kategori orang sakit atau musafir, maka wajib bagi mereka berniat dari malam bahwasanya mereka berpuasa besok pagi. Barang siapa di antara mereka terpaksa berbuka di waktu siang hari, maka boleh baginya berbuka sekadar menghilangkan kesulitannya. Dan yang tidak mengalami kesulitan maka wajib baginya meneruskan puasa. Ini yang dikehendaki dalil-dalil syariat dari Al- Qur’an dan As-Sunnah.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:

  1. Hukum berbuka karena memanen buah-buahan? Jawab :

🌾”Memungkinkan pemiliknya untuk mengatur waktu kerja pada perkebunan mereka, mereka memanennya di waktu yang sejuk di malam hari, atau mereka memanennya dengan menyewa orang yang tidak memudaratkan padanya berpuasa dengan keumuman upah, atau diakhirkan pemanenannya jika tidak merusak buahnya.

 { وَمَنْ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّه مَخْرَجًا }.

“ۙBarang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,” (QS. At-Talaq 65: Ayat 2)

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah boleh berbuka bagi pegawai pertahanan sipil (Satpol PP)? Jawab:

🍂”Tidak boleh memutus puasa wajib tanpa uzur sakit atau safar melainkan bagi orang yang dikhawatikan akan membahayakan dirinya atau dia butuh berbuka untuk menyelamatkan jiwa yang maksum (terjaga) dari kebinasaan yang terhentikan keberhasilan penyelamatannya melainkan dengan berbuka.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

➡ Kesimpulannya:

🌷”Bahwasanya wajib berbuka untuk menyelamatkan jiwa yang maksum (terjaga), jika penyelamatannya tidak berhasil melainkan dengan berbuka. Yang benar: Bahwasanya wajib baginya menqodho tidak harus disertai kaffarah.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin)

Soal:

  1. Bolehkah meninggalkan puasa karena pekerjaannya di bidang olah raga, seperti permainan sepak bola? Jawab :

🌿”Tidak boleh berbuka di siang Ramadan dikarenakan pekerjaannya di bidang olah raga, semisal sepak bola atau selainnya; karena itu bukan termasuk uzur syariat yang membolehkan untuk berbuka.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Siapakah yang diharamkan padanya puasa?

Jawab:

🌼”Diharamkan puasa bagi wanita haidh dan nifas, orang yang sakit dan musafir jika hal itu mengantarkannya kepada kebinasaan (kematian) atau menambah parah sakitnya.”

Soal:

  1. Jika wanita suci sebelum fajar apa mengharuskannya berpuasa? Jawab:

🌱”Jika wanita suci sebelum fajar (subuh), maka wajib baginya berpuasa, tidak mengapa mengakhirkan mandi suci sampai setelah terbitnya fajar subuh, akan tetapi tidak boleh baginya mengakhirkannya sampai terbit matahari, dan wajib bagi laki-laki bersegera dengan hal itu (mandi) sehingga dia mendapati salat subuh berjamaah.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:

  1. Apabila seorang wanita suci langsung setelah fajar (subuh), apakah dia puasa hari itu? Jawab :

🌴”Jika darah berhenti (suci) tepat terbit fajar atau sesaat sebelumnya maka sahih puasanya, tertunaikan kewajibannya, walaupun dia belum mandi kecuali setelah subuh. Adapun jika belum berhenti darahnya melainkan setelah jelas waktu subuh, maka dia menahan diri dari pembatal puasa, tidak tertunaikan kewajibannya, bahkan dia mengqodhonya setelah Ramadan.”

✒(Syaikh Ibnu Baz).

Soal:

  1. Keluar darinya darah sedangkan dia hamil, kemudian dia meneruskan puasa dan salatnya, apakah benar yang dilakukannya? Jawab:

🌳”Darah yang keluar dari wanita hamil tersebut darah rusak (fasid), tidak dianggap. Sungguh dia telah bertindak benar dengan meneruskan puasa dan salatnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🍃”Puasamu sedangkan engkau dalam keadaan hamil serta adanya pendarahan, tidak membatalkan puasa, seperti istihadhoh, puasamu telah sah (benar).”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Risalah Kedua Puluh – Bab orang-orang yang diberi udzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kedua Puluh🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi udzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:

  1. Seorang anak perempuan baligh pada usia belia dan berpengaruh puasa padanya karena lemah fisiknya, kemudian dia berbuka di sebagian hari, maka apa yang wajib atasnya? Jawab:

🌻”Sepanjang anak perempuan ini telah baligh sebelum masuknya bulan Ramadan dengan adanya satu tanda dari tanda-tanda baligh yaitu haidh, maka puasa telah menjadi wajib baginya, maka hari-hari yang dia tidak berpuasa karena dia tidak mampu disebabkan lemah fisiknya, maka itu tidak gugur kewajiban atasnya, hanya saja dia berpuasa setelah dia memiliki kemampuan.
Allah Ta’ala berfirman:

 ۚ{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ ۗ وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ }.

“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Hukum orang yang tidak mampu puasa karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya lagi? Jawab:

🍁”Wajib baginya fidyah dengan memberi makan seorang miskin tiap harinya; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

{ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ }.

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 184).

➡ Dahulu Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membacakannya begini, dan dia berkata : ‘Ayat ini tidak dihapus, yang dimaksud adalah laki-laki tua renta dan wanita yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka keduanya memberi makan setiap hari seorang miskin’,
makna:
{ يُطَوَّقُونَهُ }

Yaitu : “dibebankan kepadanya tetapi tidak mampu menjalankannya.”

Soal:

  1. Seorang yang berubah akalnya (pikun) karena usia lanjut, apakah memberi makan kepada orang miskin (fidyah) atau dipuasakan untuknya jika telah meninggal?

Jawab:

🍀”Memberi makan orang miskin adalah kewajiban bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena telah lanjut usia dan masih berakal (belum pikun),

➡ Adapun jika sudah hilang akalnya (pikun), maka gugur darinya kewajiban memberi makan orang miskin.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

🌾”Tidak melazimkannya (mengharuskannya) sesuatupun karena pena pencatat amal terangkat darinya, Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

َ (( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقََ وَعَنْ الصَغِير حتى يبلغ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظ )).

“Pena pencatat dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia baligh, orang tidur hingga ia terbangun.”

✒(Syaikh Muqbil Al Wadi’y).

Soal:

  1. Apabila orang yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang sudah tidak diharapkan kesembuhannya melakukan safar, apakah gugur kewajiban fidyah bagi mereka? Jawab :

🍂”Gugur dari mereka kewajiban fidyah karena uzur safar dan tidak ada mengqodho puasa karena tidak mampu berpuasa.”

Soal:

  1. Ketika masih muda tidak berpuasa, kemudian dia ingin bertaubat, dia sudah tua renta tidak mampu berpuasa, apa yang harus dia lakukan? Jawab:

🌷”Apabila engkau sekarang sudah tidak mampu mengqodho karena terus menerus mengalami sakit kronis, maka wajib bagimu mengganti qodho dengan fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin setiap hari yang tinggalkan.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:

  1. Apakah telah mencukupi (tertunaikan) seorang yang berpuasa untuk orang yang tidak mampu berpuasa dan juga tidak mampu membayar fidyah sebagai ganti memberi makan seorang miskin sedangkan orang tersebut masih hidup? Jawab:

🌿”Adapun salat, maka ijmak (kesepakatan) Ulama bahwasanya seorang tidak menyalatkan untuk orang lain salat fadhu, tidak juga salat sunnah, tidak pula tathawwu’ (sunnah), tidak dari orang yang masih hidup, tidak pula yang sudah meninggal, begitu juga puasa untuk orang yang masih hidup, tidak dianggap tertunaikan puasa dari orang lain itu ketika dia masih hidup, ini semua ijmak tidak ada khilaf (yang menyelisihi) di dalamnya.

➡ Adapun orang yang meninggal dan mempunyai hutang puasa ini adalah terjadi khilaf (perbedaan pendapat) antara Ulama.”

✒(Imam Ibnu Abdil Barr).

🌻”Ulama telah sepakat bahwasanya seseorang tidak mempuasakan orang lain selama orang itu masih hidup.”

✒(Imam An Nawawi).

Soal:

  1. Haruskah orang yang tidak mampu berpuasa memberikan makan setiap hari orang miskin yang berbeda? Jawab:

🍀”Tidak harus, bahkan kalau dia memberi makan kepada satu orang miskin yang sama, itu sudah tertunaikan. Karena tidak ada dalil atas wajibnya memberi makan orang miskin yang berbeda, berbeda dengan dalil yang datang tentang kaffarah, telah disebutkan jumlah orang miskin yang wajib di berikan makan, dan juga karena fidyah puasa setiap hari terpisah dari hari sebelumnya. Apabila seorang telah memberikan fidyah hari ini kepada orang miskin sudah tertunaikan apa yang menjadi tanggungannya. Apabila datang hari kedua mewajibkannya fidyah baru, tidak ada hubungan dengan hari sebelumnya. Maka boleh memberikannya pada orang miskin yang sama. Wallahua’lam.”

Soal:

  1. Jika sudah dikeluarkan fidyah kemudian dia mampu berpuasa, apakah tertunaikan puasanya oleh fidyah yang telah dikeluarkan? Jawab:

🍁”Apabila seorang yang sakit tidak bisa diharapkan kesembuhannya, baik menurut kebiasaan atau diagnosis dokter yang tepercaya, maka wajib baginya memberi makan tiap hari seorang miskin, apabila telah dilakukan hal tersebut kemudian Allah Ta’ala menakdirkan dia sembuh setelahnya, maka tidak mengharuskannya berpuasa sebab dia telah membayar dengan memberi makan orang miskin. Karena kewajibannya sudah tertunaikan dengan apa yang dia telah lakukan dari memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa. Apabila kewajibannya sudah tertunaikan maka tidak wajib menyertakannya setelah lepas tanggungannya.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:

  1. Kapan fidyah itu dikeluarkan? Jawab:

🌺”Adapun waktu memberi makan orang miskin ada pilihannya,

➡ Jika dia ingin mengeluarkannya setiap hari di hari dia tidak berpuasa,
➡ Jika dia ingin, mengakhirkannya sampai hari terakhir sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.”

✒(Syaikh Al ‘Utsaimin).

🌾Aku (penulis) katakan :

“Atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yaitu bahwasanya beliau tidak mampu berpuasa kemudian beliau membuat semangkuk besar tsarid (roti yang diremukkan dalam kuah daging) lalu mengundang 30 orang miskin, dan mengenyangkan mereka.”

📚HR. Ad-Daruquthniy (2/207) dan disahihkan Syaikh Al-Albany.

Soal:

  1. Apakah boleh mengeluarkan fidyah sebelum Ramadan? Jawab:

🍂”Fidyah tidak diserahkan sebelum Ramadan, karena fidyah sebabnya berbuka di bulan Ramadan. Mengeluarkan fidyah bisa di awal atau pertengahan atau di akhir Ramadan, dan yang utama di akhirnya, dan lebih utama lagi dari hal itu memberikan makan orang miskin setiap hari di hari yang dia berbuka, karena dia tidak tahu barangkali dia meninggal, maka bersegera menunaikan apa yang menjadi tanggungannya.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Risalah Kesembilan Belas – Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kesembilan Belas🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
170. Kapan batasan akhir bagi sopir angkutan (yang melakukan perjalanan safar di kebanyakan keadaannya) untuk mengqodho puasa Ramadan?

Jawab :

🌻Wajib baginya mengqodho puasa sebelum datang Ramadan berikutnya, apabila dia memiliki kecukupan dari rezeki dan harta, maka wajib atasnya untuk berhenti sementara dari bekerja untuk mengganti hari-hari puasa yang ditinggalkannya, dalilnya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku berhutang puasa Ramadan dan aku tidak bisa mengqodhonya kecuali pada bulan Sya’ban.”

➡ Hadits di atas menunjukkan wajibnya menqodho sebelum datang Ramadan berikutnya.”

📌(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy)

Soal:
171. Barang siapa yang berniat bepergian jauh (safar), apakah boleh baginya berbuka sedangkan dia masih di rumahnya ?

Jawab:

🍁”Sebagian Ulama rahimahumullah berfatwa tentang bolehnya hal tersebut; sebagaimana hadits dalam Sunan At-Tirmidziy rahimahullah,

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْب القرظيٍ أَنَّهُ قَالَ أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ .

Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhiy berkata; “Aku menemui Anas bin Malik pada bulan Ramadan, ketika itu hendak melakukan perjalanan, dia telah mempersiapkan kendaraannya. Dia mengenakan pakaian khusus kemudian meminta dihidangkan makanan lalu beliau memakannya.” Aku bertanya: “Apakah ini sunnah?” dia menjawab: “Sunnah.” kemudian dia menaiki kendaraannya.

📚HR. At-Tirmidziy.

📌Dan telah datang hadits semisalnya dari hadits Abu Bashroh Al-Ghifariy.

🍀Berkata Imam Asy-Syaukaniy rahimahullah:

“Dua hadits ini menunjukkan atas bolehnya bagi musafir berbuka sebelum keluar dari tempat yang dia ingin memulai safar darinya.
Dan yang benar bahwa perkataan sahabat:

(( من السنة ))

Termasuk sunnah
Yaitu menjadi sunnah Rasulullah ‎ﷺ. Dua sahabat ini menyatakan bahwa berbuka bagi musafir sebelum melewati rumah-rumah daerahnya adalah termasuk sunnah.

🌺Syaikh kami Al-Wadi’y rahimahullah:

“Perbedaan antara puasa dan salat bahwa seorang yang puasa boleh baginya berbuka dari rumahnya, jika dia telah bersiap-siap bepergian, berbeda dengan salat, tidak boleh baginya mengqoshor sampai dia keluar daerahnya. Sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فِي مَسْجِدِهِ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَّصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْن .

Dari Anas bin Malik Al Anshari berkata; “Saat haji Wada’ Rasulullah ﷺ salat Dhuhur bersama kami di masjidnya di Madinah empat rakaat, kemudian salat Ashar lagi bersama kami di Dzil Hulaifah dua rakaat.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

🌾Aku (penulis) katakan:

“Bersamaan hal itu yang lebih berhati-hati atas ibadah yang agung ini, dia tidak berbuka sampai meninggalkan rumah-rumah daerahnya, ini sebagai jalan keluar dari menyelisihi Jumhur (Kebanyakan) Ulama .Wallahua’lam.”

Soal:
172. Hukum orang yang mengadakan perjalanan (safar) di bulan Ramadan agar bisa berbuka ?

Jawab:

🍂”Puasa adalah rukun dari rukun-rukun Islam seperti yang telah diketahui. Dan sesuatu yang wajib dalam syariat tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan tipu daya (mencari-cari alasan) agar gugur kewajiban darinya. Barang siapa yang melakukan perjalanan (safar) karena ingin berbuka, maka safar baginya adalah hukumnya haram. Begitu juga, berbuka haram baginya, maka wajib baginya bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan agar dia kembali dari safarnya dan berpuasa, apabila dia tidak kembali wajib baginya berpuasa walaupun dia dalam keadaan perjalanan safar.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

🔥Tidak boleh melakukan perjalanan safar karena ingin berbuka, dalilnya adalah sabda Rasulullah ‎ﷺ:

(( وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ )).

“Janganlah kamu menggabungkan ternak yang terpisah dan jangan pula memisahkan yang sudah berkumpul, karena ingin menghindari atau meminimalisir pengeluaran sedekah (zakat) “.

🔥Jadi, mencari-cari alasan agar gugur kewajiban adalah haram tidak boleh (seseorang itu melakukannya).”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
173. Apa batasan sakit yang membolehkan berbuka?

Jawab:

🌷”Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit parah yang bertambah karena berpuasa atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhannya.”

✒(Imam Ibnu Qudamah).

✏Kesimpulan dalam hal itu:

➡ Bahwasanya orang yang sakit, jika tidak memberatkan atasnya puasa, maka berbuka haram baginya.

➡ Apabila memberatkannya tanpa ada rasa takut membahayakannya, maka puasanya makruh.

➡ Apabila memberatkannya bersamaan rasa takut membahayakannya, maka yang sahih puasa haram baginya.

➡ Adapun sakit bersamaan itu ditakutkan akan mengantarkannya kepada kematian, maka bertambah keharamannya.

➡ Terbangun atas itu kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan sebagian orang awam dari melarangnya untuk berbuka bersamaan adanya keberatan dalam sakitnya, ini adalah suatu kesalahan.

➡ Ini adalah berpaling dari keringanan yang diberikan oleh Allah Tabaaroka wa Ta’ala.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
174. Apakah wajib berpuasa bagi penderita diabetes (penyakit gula)?

Jawab:

🌿”Apabila dia mampu berpuasa tanpa memberatkannya, maka wajib baginya puasa.

➡ Adapun apabila di sana terdapat kesulitan sekali, maka boleh baginya berbuka.

➡ Apabila masih diharapkan kesembuhannya, maka ini adalah hutang puasa, apabila sudah tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka dia memberi makan setiap hari satu orang miskin.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
175. Seorang dokter menasihatinya agar tidak berpuasa karena dia sakit tukak lambung, apakah dia mengikuti perkataannya?

Jawab:

🌻”Apabila dokter yang melarangnya berpuasa adalah dokter yang terpercaya, amanah jujur dan mumpuni di bidangnya, maka dia wajib mengikuti nasehat dokter, yaitu berbuka di bulan Ramadan sampai dia mampu berpuasa. Allah Ta’ala berfirman:

{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ ۗ وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ }.

“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
176. Dokter menyuruhnya untuk berbuka puasa karena dia dalam pengobatan penyakit liver (hati), apakah boleh mengambil perkataan dokter ?

Jawab:

🍃”Apabila dokter itu dapat dipercaya, amanah dan mumpuni di bidangnya, maka diambil sarannya yaitu untuk meninggalkan puasa; karena dia mengetahui keadaan penderita dan batas kemampuan pasien untuk berpuasa atau berbuka. Wajib baginya mengqodho puasa hari yang dia berbuka setelah adanya kemampuan untuk berpuasa.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
177. Siapakah dokter yang diambil perkataannya dalam masalah batasan sakit bagi orang yang berpuasa?

Jawab:

🌻Berkata Sebagian Ulama:

“Kapan seorang dokter itu terpercaya, diambil perkataannya walaupun bukan dokter Muslim. Berdalilkan bahwasanya Rasulullah ‎ﷺ ketika hijrah, menyewa seorang kafir, yang bernama Abdullah bin Uraiqith untuk menunjukkan jalan dari Makkah ke Madinah, bersamaan itu keadaannya berbahaya sekali untuk bergantung kepada orang kafir dalam perkara tersebut; dikarenakan orang kafir Quraisy mencari Rasulullah ‎ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka para Ulama tersebut berpendapat bahwa intinya adalah terpercaya, bahwasanya diterima perkataan dokter kafir jika dia terpercaya,…

➡ Apabila perkataan dokter non Muslim termasuk orang yang dapat dipercaya perkataannya karena keamanahannya dan kepintarannya, ‘Sesungguhnya salat dalam keadaan berdiri akan membahayakanmu dan harus bagimu sholat berbaring’, maka pasien boleh mengikuti perkataannya, dan termasuk hal itu jika dokter terpercaya itu berkata: ‘Sesungguhnya puasa akan membahayakanmu atau memperlambat kesembuhanmu’, maka pasien tersebut boleh berbuka mengikuti perkataannya.”

✒(Syaikh Al ‘Utsaimin).

Soal:
178. Apabila pasien sembuh atau seorang musafir sampai di kampungnya pada siang Ramadan, yang sebelumnya mereka telah berbuka, apakah mengharuskan mereka menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu?

Jawab:

🍁”Tidak wajib bagi mereka menahannya di sisa hari tersebut menurut pendapat yang benar, karena tidak adanya dalil hal itu dan puasa itu ibadah yang meliputi waktunya sehari penuh, tidak cukup puasa sebagian hari saja, tetapi disunnahkan bagi mereka menahannya karena kesucian bulan Ramadan dan keluar dari khilaf para Ulama.”

Soal:
179. Apabila dia merasakan lapar dan haus yang sangat dan mengkhawatirkan akan menghantarkan dirinya kepada kebinasaan, apakah boleh baginya berbuka?

Jawab:

🍀”Disyariatkan dalam keadaan ini dia berbuka, walaupun dia seorang yang bermukim, sehat sekadar menghilangkan kesulitannya, kemudian dia menahannya di sisa hari tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman:

ِ {وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ  }.

“Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 195)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

{ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْۤا أَنْـفُسَكُمْ }.

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 29)

📌Dan wajib baginya qodho puasa karena dia dihukumi sebagai orang yang sakit.”

Risalah Kedelapan Belas – Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya

🌹Risalah Kedelapan Belas🌹

🌷Bab orang-orang yang diberi uzur syariat dan apa yang berkaitan dengannya🌷

Soal:
160. Berapa jarak tempuh yang apabila seorang itu bepergian membolehkannya berbuka puasa dan mengqoshor salat ?

Jawab:

🌻”Sebagian Ulama memberi keringanan dalam mengqoshor salat yang empat rakaat dan berbuka di siang Ramadan di setiap yang dinamakan safar (bepergian jauh), Jumhur Ulama memberikan batasan paling sedikitnya jarak tempuh kurang lebih delapan puluh kilometer.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
161. Seorang dari rumahnya menuju ke bandara, apakah boleh dia mengqoshor dan berbuka di bandara?

Jawab:

🍁”Jika bandara satu kota dengannya, maka dia belum dikatakan bepergian (musafir) sampai pesawat terbang (take off dari kota tersebut).

➡ Apabila bandara tidak satu kota dengannya, maka dia dikatakan musafir, boleh baginya mengqoshor dan berbuka.”

✒(Syaikh Abdurrahman Al-‘Adaniy).

Soal:
162. Dia keluar dari kampungnya, ketika dia sudah melewati rumah-rumah kampungnya, dia berbuka kemudian ternyata tertunda keberangkatan (safar)nya, apa yang wajib atasnya ?

Jawab:

🍀”Kalau dia keluar dari daerahnya bermaksud menuju ke bandara karena dia akan melakukan perjalanan jauh (safar) kemudian dia berbuka. Setelah itu dia tidak jadi naik pesawat dan kembali ke daerahnya, di sini apakah dia tetap berbuka atau harus menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu? Ini terbangun khilaf (perbedaan pendapat Ulama) pada musafir yang datang (ke rumahnya) dalam keadaan berbuka, apakah mengharuskannya menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu? Pendapat yang benar dia tidak harus menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari itu.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin)

Soal:
163. Seorang bepergian ke suatu daerah (negara) dan berniat tinggal lebih dari empat hari, apakah dia berbuka dan mengqoshor sholatnya?

Jawab:

🌺”Jika dia berniat tinggal empat hari atau kurang, maka berlaku baginya hukum-hukum musafir, boleh baginya berbuka dan mengqoshor sholat; dikarenakan tinggalnya (di daerah tersebut), jika empat hari atau kurang tidak mengeluarkannya dari hukum musafir.

➡ Adapun jika tinggalnya yang dia niatkan lebih dari empat hari ini, maka berlaku baginya hukum orang mukim (menetap), dan tidak berlaku baginya hukum safar, wajib atasnya menyempurnakan sholat dan puasa di bulan Ramadan.”

✒(Syaikh Al Fauzan).

Soal:
164. Apabila seseorang berniat di malam hari akan bepergian di siang hari, apakah dia meniatkan berbuka sejak malam ?

Jawab:

🌾”Ulama telah sepakat bahwa orang yang ingin bepergian di bulan Ramadan tidak boleh baginya niat berbuka dari malam, dikarenakan musafir tidak dikatakan bepergian dengan niat saja, hanya saja dia menjadi musafir ketika bersiap- siap safar dan mengambil perbekalannya.”

✒(Imam Ibnu Abdil Barr).

Soal:
165. Seorang yang bepergian di siang hari sedangkan dia berpuasa sejak pagi, apakah boleh dia berbuka ?

Jawab :

🍂”Ya, boleh baginya berbuka. Karena keumuman ayat, Allah Ta’ala berfirman:

{ۗ فَمَنْ كَا نَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا أَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ أُخَرَ }.

“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 184)

Maka dibolehkan baginya berbuka karena bepergian dan dimutlakkan atas hal itu.”

Soal:
166. Manakah yang lebih utama bagi musafir berbuka atau berpuasa ?
Jawab :

🌷”Apabila puasa membawanya kepada kesulitan yang sangat dan dikhawatirkan terjadi bahaya padanya, maka wajib baginya berbuka, sebagaimana hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ: (( مَا هَذَا؟ )) فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَال:((َ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ )).

Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma ia berkata; Rasulullah ﷺ pernah dalam suatu perjalanan melihat kerumunan orang, yang di antaranya ada seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Orang ini sedang berpuasa”. Maka Beliau bersabda: “Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.”

📚HR. Bukhori dan Muslim.

➡ Apabila puasa membawanya kepada kesulitan ringan, maka yang utama baginya berbuka; karena Allah Ta’ala mencintai untuk diambil rukhsoh (keringanan-Nya).

➡ Apabila puasa tidak menyulitkannya, maka yang utama bagi dia berpuasa, sebagaimana pendapat Jumhur Ulama, karena ini juga diriwayatkan dari Rasulullah ‎ﷺ pada sebagian perjalanannya (safarnya). Sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.

➡ Dan pada puasa itu lepas terhadap tanggungan, karena seorang Muslim tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Karena pelaksanaan ibadah ketika mampu lebih mudah dan utama daripada mengqodho. Wallahua’lam.”

Soal
167. Manakah yang lebih utama bagi orang yang melakukan umroh, berpuasa atau berbuka?

Jawab :

🌾”Apabila orang yang melakukan umroh berkata: ‘Jika aku tetap berpuasa, maka menyulitkanku pelaksanaan manasik umroh, maka aku di antara dua perkara, aku akhirkan pelaksanaan manasik umroh sampai tenggelam matahari dan tetap berpuasa sampai tiba di Makkah, atau aku berbuka dan bersegera umroh.

➡ Maka kita katakan padanya: ‘Yang utama engkau berbuka dan melaksanakn umroh saat tiba di Makkah, karena ini perbuatan Rasulullah ‎ﷺ dan juga maksud orang yang umroh adalah melaksanakan umroh. Dan bukanlah maksudnya yang terpenting berpuasa di Makkah.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).

Soal:
168. Apabila perjalanan tidak meletihkan seperti perjalanan dengan pesawat, bolehkah dia berbuka ?

Jawab:

🍂”Boleh bagi musafir berbuka dengan kesepakatan Ulama, sama saja apakah dia mampu berpuasa atau tidak, menyulitkannya berpuasa ataupun tidak, dari sisi jika dia bepergian dalam naungan atau berlayar dan bersamanya ada orang yang melayaninya, boleh baginya berbuka dan mengqoshor.”

✒(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

🌾”Adapun apabila jarak tempuh perjalanan mencapai 80 km ke atas, maka disunnahkan bagi musafir untuk berbuka walau kendaraannya tidak meletihkan; seperti kereta api, kapal dan pesawat; dikarenakan keumuman dalil-dalilnya.”

✒(Lajnah Ad Daimah [Majelis Ulama Saudi Arabia]).

Soal:
169. Apakah hukum musafir berlaku atas para sopir mobil dan bis karena pekerjaannya yang terus menerus di siang Ramadan?

Jawab:

🍃”Ya, berlaku atasnya hukum musafir, boleh baginya mengqoshor, menjamak dan berbuka.

➡ Apabila ada orang berkata: ‘Kapan mereka berpuasa sedang pekerjaannya berkesinambungan ?’

➡ Kita katakan : ‘Berpuasa di musim dingin; karena hari-harinya pendek dan dingin.

➡ Adapun sopir angkutan kota (dalam satu daerah), maka tidak berlaku baginya hukum musafir dan wajib baginya puasa.”

✒(Syaikh Al-‘Utsaimin).